Persona Lover Indo
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Komunitas pecinta Persona di Indonesia!
 
IndeksIndeks  Latest imagesLatest images  PendaftaranPendaftaran  LoginLogin  
Login
Username:
Password:
Login otomatis: 
:: Lupa password?
November 2024
MonTueWedThuFriSatSun
    123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930 
CalendarCalendar

 

 Persona 4 : Birth Of Tragedy

Go down 
+2
Ciocarlie
separated-union
6 posters
PengirimMessage
separated-union




Male Jumlah posting : 15
Quote : In nothing we trust
Money : 28730
Registration date : 01.07.09

Persona-User Information
Name:
Persona:
Gender:

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 01, 2009 9:35 am

Persona 4: Birth of Tragedy

Author’s note: Ini fanfic pertama yang saya buat^^ jadi mohon maap kalo jelek...enjoy

Rated : T

Summary: -post game- Kematian dapat menjemput kapan saja dan dengan segala cara, oc x Yukiko....WARNING!! OC, CHARACTER DEATH...

Category: suspense/Action

Disclaimer: PERSONA 4 tuh punya Atlus, punya gw cuma OC-nya ajah



--------------------------------------------------------------------------------

PROLOG

SHINJUKU, JEPANG

11 siang

Konon, kematian dapat menjemput kapan saja dan dengan segala cara. Itulah yang sekarang diakui oleh Souji Seta saat ini. Sambil mencengkram dadanya dan terjatuh ke tanah kesakitan, lelaki itu menyadari apa penyebabnya.

Orang-orang bermunculan dan berkerumun di sekitar Souji Seta. Mereka mencoba untuk menolongnya. Tetapi Souji Seta semua itu adalah sia-sia—sudah terlambat.

Souji gemetar, mengangkat tangan kirinya dan berusaha untuk menunjuk ke atap sebuah bangunan. Lihatlah tanganku! Wajah-wajah di sekitarnya menatap dirinya, tetapi tidak tahu apa maksud dari arah tunjukkan tangannya itu.

Pada dada Souji Seta terdapat sebuah luka menganga, ia tertembak. Untuk sesaat matahari bersinar setelah tertutup awan dan Souji Seta saat itu sadar jika itu adalah cahaya terakhir yang dia lihat.

Sementara itu di bagian atas Tokyo Metropolitan Goverment building, seorang pria berpakaian hitam memandang dingin ke arah pemuda itu dari balik sniper scopenya seraya mencoret beberapa nama yang tertulis dalam sebuah catatan kecil di dekatnya, yaitu:

TARO NAMATAME

TOHRU ADACHI

SOUJI SETA


Ia tersenyum sesudahnya dan beranjak pergi dari tempat itu, meninggalkan senapan Dragunov SVD buatan Rusia-nya yang kemudian meledak dan menyisakan api bercampur dengan asap yang membumbung tinggi menghiasi langit kota Tokyo yang cerah.


--------------------------------------------------------------------------------

Well sebenernya ini fanfic yang sama dengan yang saya post di Fanfiction.net dengan judul sama tetapi ga ada salahnya juga c dipost di sini....guna menghindari apa yang terjadi di fanfic My Immortal di FF.net
Kembali Ke Atas Go down
separated-union




Male Jumlah posting : 15
Quote : In nothing we trust
Money : 28730
Registration date : 01.07.09

Persona-User Information
Name:
Persona:
Gender:

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 01, 2009 9:47 am

BAB 1: The Funeral

TOKYO, JEPANG

Hari ini Souji Seta dikembalikan ke bumi, tak ada seorangpun yang dapat menyaksikan jasad pemuda berambut perak itu kini setelah tubuhnya disembunyikan di balik peti mati hitam yang dingin, sedingin udara di sekitarnya yang lembab karena hujan ketika diarak dari sebuah kuil di daerah pinggiran kota megapolis itu menuju ke sebuah pemakaman pribadi milik keluarga Seta. Pemakaman itu dipimpin oleh seorang biksu yang telah renta disaksikan oleh seluruh keluarga, relasi bisnis keluarga, kekasih dan sahabat-sahabatnya semasa ia masih hidup.

Dari tanah kembali menjadi tanah, mungkin itulah hakikat dari kehidupan. Di sekitar lokasi pemakaman berjaga sejumlah polisi lengkap dengan mobil-mobil patroli yang berbaris rapi dengan mesin yang membisu di lapangan luas yang dihiasi oleh pohon-pohon sakura di sekelilingnya yang merekah indah. Seorang pemuda berambut biru berdiri bersandar pada salah satu mobil patroli yang terparkir itu. Matanya tertuju pada kerumunan orang-orang berpakaian serba hitam yang sedang khusuk mengikuti prosesi pemakaman dengan tatapan matanya yang sayu—diliputi oleh kesedihan. Di antara kerumunan itu pula ia melihat Yukiko Amagi, anak keluarga Amagi yang merupakan kekasih Souji Seta semasa hidupnya berdiri di dekat peti mati pemuda itu dengan keadaan yang sangat terpukul, berurai air mata yang ia tahu persis tentunya tidak akan mereda dalam sekejap seperti hujan yang membasahi bumi siang ini.

“Sungguh, aku tidak pernah menduga jika pemakaman pertama yang kudatangi adalah pemakamanmu senpai..” Ujarnya dalam hati, lirih...bagaimanapun ia adalah seorang teman yang baik dan kini ia telah tiada...untuk selamanya..

Suara Ryoutarou Doujima yang terdengar berat terdengar tiba-tiba, membuat perhatian Pemuda itu teralih ke arah seorang pria berusia sekitar 35-an yang berdiri di sebelahnya sambil menunjukkan raut wajah sedih yang mendalam, sementara sepasang matanya yang bewarna coklat itu menatap ke arah pemandangan yang ia lihat barusan. Pemuda itu sama sekali tidak heran dengan apa yang dirasakan oleh paman Souji Seta itu sekarang sebab bagi pria itu, Senpai-nya itu sudah menjadi bagian dari keluarga bagaikan anak sendiri.

“Kau tahu, Nanako menangis terus dari kemarin,” Ryoutarou membuka pembicaraan dengan pemuda itu seraya mengeluarkan sebungkus Marlboro dari saku kemejanya, “Aku sama sekali tidak punya bayangan akan hal ini..”

Polisi itu lalu menyulut sebatang rokoknya sementara kedua mata pemuda itu melihat ke arah beberapa orang di tengah pemakaman yang sibuk berpura-pura bersikap khusyuk dengan wajah tertunduk berlinangan air mata buaya dari balik topinya. Mereka bisa saja menipu sebagian besar orang-orang di tempat itu tetapi tidak matanya. Ia telah biasa berprasangka buruk dengan apa yang dia lihat sebagai seorang detektif berjulukan The Detective Prince dan melihat apa yang diamatinya itu sudahlah cukup sebagai alasannya untuk mencurigai orang-orang tersebut.

Pada saat ditemukan meninggal 5 hari yang lalu, Souji Seta barulah berusia 17 tahun. Kondisinya cukup menyedihkan dengan sebuah luka besar menganga pada dadanya, sebuah tembakan telak pada jantung dengan sebuah peluru 7.62x54mmR bersarang di dalamnya. Yang cukup aneh dari semua itu adalah, dari hasil forensik, tidak ditemukan sedikitpun goresan yang terjadi pada peluru yang ada sebagai akibat dari letusan senjata membuat sumber peluru sama sekali tidak diketahui dimuntahkan dari senapan jenis apa, tidak ada saksi, tidak ada bukti lain...membuat jalan menuju kebenaran tertutup oleh kabut hitam yang sangat pekat tak berkesudahan dan inilah hasilnya.

“Orang-orang itu datang bukan untuk menghadiri pemakaman.”

Ryoutarou dengan enggan mengangguk. “Begitulah kira-kira,” jawabnya seraya menghisap rokok yang ada di tangannya ketika tiba-tiba matanya menangkap sesosok pria berambut hitam di kejauhan yang berdiri terpisah dari kerumunan. Pria itu berusia sekitar 16-17 tahunan dengan tubuh tinggi, tegap, dan berkulit pucat..bukan tipe kulit orang Jepang. Pandangan matanya tersembunyi dari balik kacamata hitamnya. Orang asing? Tetapi bukan itulah yang membuatnya tertarik tetapi caranya mengikuti pemakaman Souji dengan sikap sembunyi-sembunyi saat ia pergoki itulah yang cukup aneh.

Pemuda itu mengerutkan alis sementara payungnya yang bewarna biru terus berdiri tegak melindunginya dari air hujan yang terus turun. Apa Senpai pernah bercerita jika keluarganya, atau mungkin dirinya memiliki relasi orang asing? Ia tidak mengenali pemuda itu.

“Shirogane,” Ryoutarou memanggilnya sembari menunjuk ke arah dua buah mobil Mercedes-Benz ML350 bewarna hitam yang berhenti di tepi pemakaman.

Mata pemuda itu melihat sejumlah orang keluar dari mobil-mobil tersebut, sekitar 7 atau delapan orang dan ia mengenali mereka, orang-orang dari Grup Kubo dan ia tahu betul bahwa harus ada yang menghentikan mereka atau tempat pemakaman itu hanya akan menjadi tempat pembunuhan yang begitu ironis.

Grup Kubo adalah sebuah grup pemimpin sebuah perusahaan besar yang terkenal di Jepang, setara dengan Grup Seta, berbeda dengan Grup Seta, nama Grup Kubo di negara ini tidaklah begitu baik karena hubungannya yang cukup dengan dengan dunia hitam. Konon mereka memiliki hubungan yang cukup baik dengan Sakakibara, seorang pemimpin yakuza yang terkenal dari barat dan mereka sering bekerjasama dalam berbagai transaksi narkotika yang diselundupkan dari Myanmar. Hubungan mereka dengan Grup Seta awalnya berjalan dengan lancar hingga sebuah peristiwa terjadi. Anak dari pemimpin Grup Kubo, Mitsuo Kubo kini menjadi seorang narapidana di penjara semenjak pembunuhan yang dilakukan terhadap Kinshiro Morooka diketahui oleh publik dan yang menangkapnya adalah Souji Seta beserta dengan dirinya dan kawan-kawannya yang lain. Peristiwa itu lalu berakibat fatal membuat hubungan antara dua grup pengusaha itu menjadi semakin memburuk dari waktu ke waktu. Rumor beredar bahwa kini vendetta telah dilakukan, Grup Kubo terlibat dalam upaya pembunuhan Souji Seta dengan menyewa seorang professional—motifnya cukup kuat, mengingat betapa marahnya putra pemilik Grup Kubo itu ketika sadar jika Yukiko Amagi, yang kini telah tenggelam dalam kesedihan yang mendalam lebih memilih pria berambut perak itu dibanding dirinya...sejak awal.

“Mundur. Sekarang sedang ada pemakaman.”

Ryoutarou Doujima menghadang gerombolan yang baru datang bersama dengan pemuda itu, Naoto Shirogane sebelum mereka memasuki pemakaman keluarga Seta. Sepasukan kecil polisi dengan hanya berjumlah sepuluh orang yang dipimpinnya juga telah berjaga-jaga tidak jauh dari mereka.

Pemimpin gerombolan itu hanya tertawa. Suaranya begitu lantang bagaikan orang gila di pinggir jalan tak terurus. Laki-laki itu berperawakan kurus dengan tato yang menghiasi tubuhnya dimana-mana. Penampilannya begitu serampangan dengan jas bewarna hitam dan kemeja bewarna putih yang tidak rapi sementara rambut di kepalanya begitu rapi, sangat berbeda dengan gaya berpakaiannya dilengkapi dengan aroma parfum yang bisa dikatakan menyengat dibandingkan wangi, penampilan serupa dengan gaya yang berbeda juga diikuti oleh para anak buahnya, dengan satu kesamaan...ekspresi wajah yang siap mati dan garang bagaikan binatang buas yang lapar mencari mangsa.

“Oh, ya, aku tahu itu. Justru untuk itulah kami datang,” ujarnya, “Tapi kalian tidak usah khawatir, kami tidak akan bikin kerusuhan di sini.”

Pemuda itu, Naoto Shirogane mendengus. Omong kosong, pikirnya. Tak lama peristiwa itu terjadi, Orang-orang dari Grup Kubo dan para pengawal dari Grup Seta bertemu saat iring-iringan mobil ambulance yang membawa jasad senpainya melaju kencang dalam perjalanan menuju rumah sakit, baku tembak terjadi membuat jalanan kota Tokyo yang ramai menjadi dilanda kepanikan yang luar biasa menyisakan mayat-mayat manusia yang mati sia-sia di jalan dalam genangan darah.

Sebenarnya, adalah sia-sia usaha untuk meminta orang-orang yang kini berdiri di hadapannya untuk angkat kaki dari tempat itu. Salah seorang dari keluarga Seta, Mitsuhiro Seta yang merupakan kakak dari sang almarhum mengetahui keberadaan calon perusuh itu (dan memang sudah perusuh sekarang) dan kini ia menghampiri tamu tak diundangnya itu bersama dengan empat orang bodyguardnya yang bagaikan petugas secret service presiden Amerika Serikat bagaikan para gladiator yang siap bertanding di arena Colloseum Roma yang megah, dengan geram dan penuh amarah sementara empat orang yang ada di belakangnya itu hanya terdiam bagaikan patung Yunani yang membisu.

“Mau apa kau?” ucap Mitsuhiro pada mereka ketika hujan terus membasahi bumi tetapi waktu seolah berhenti di kedua kelompok yang tidak memperdulikan hujan.

“Tenang, Mitsu-chan. Kami datang untuk berkabung, balasan atas kunjungan orangmu ke penjara tuan muda bulan lalu,” ujar pimpinan perusuh itu (dan seterusnya disebut yakuza karena menghemat tenaga^^) dengan nada mengejek.

Mitsuhiro hanya terdiam, matanya menatap para yakuza itu dengan tajam bagaikan sebilah pedang samurai yang siap menyerang dengan penuh kecurigaan. “Sekarang katakan semuanya dengan jelas!! Apa kalian pembunuh adikku?” tanyanya dengan ketus.

Sang yakuza menjawab, “Sekarang keadaannya imbang....vendetta telah dilaksanakan.”

Mitsuhiro kini kehabisan kesabaran, dengan cepat ia mengeluarkan sepucuk tokarev dari balik jasnya. Dia menodongkan senjata itu ke kepala pimpinan yakuza itu, diikuti oleh empat orang bodyguardnya dengan senjata serupa dan hal yang sama juga terjadi pada kelompok yakuza itu, sontak acara pemakaman kini telah siap menjadi ajang pembantaian dengan aura ketegangan yang semakin meningkat. Mereka kini telah siap untuk beraksi, tekan pelatuknya dan semuanya terjadi begitu saja,

Kenapa kau harus bernasib setragis ini senpai...Ingin rasanya Naoto Shirogane meneriakkan hal itu keras-keras di suatu tempat sepi di luar sana.

“Hentikan semua!!!” Teriak Naoto Shirogane membuat perhatian kedua kubu teralih padanya, sesaat keduanya ragu, tapi kemudian mereka menurut. Kemungkinan terburuk setidaknya berhasil dihindari.

“Seperti biasa kalian benci keributan..” Ujar pimpinan yakuza itu dengan nada meledek yang sinis.

“Pulang, bawa pergi gerombolanmu, atau kalian mau mencium sel tahanan kali ini!!!” ancam Naoto dengan ketus, kekesalannya kini semakin memuncak di pemakaman senpainya itu.

Suasana hening sejenak sebelum para yakuza itu pergi sambil penuh lagak. Sebagai seorang detektif yang namanya cukup terkenal di masyarakat, Naoto memang cukup ditakuti oleh banyak orang meski dalam usia yang sangat muda, termasuk oleh Grup Seta dan Kubo. “Ayo pergi, semoga dia diterima di sisiNya,” kata yakuza itu, lalu mereka kembali menuju ke mobil mereka dan pergi seiring deru mesin yang semakin terdengar menjauh.

Sepeninggal mereka, Naoto berkata kepada Mitsuhiro, “Kami terus melakukan penyelidikan atas kejadian ini dan kurasa Grup Kubo sama sekali tidak terlibat.”

Mendengar itu membuat Mitsuhiro menolaknya dengan tegas, “Omong kosong apa lagi ini!! Kalau ada yang diuntungkan dengan semua ini, itu pastilah Keluarga Kubo.

Naoto dan Ryoutarou mengenal Mitsuhiro selama menangani kasus ini. Berbeda dengan sang adik yang tenang dan berpikiran panjang. Ia adalah seorang yang keras kepala, tempramental dan berpikiran pendek, tipe seorang jendral perang tetapi bukan seorang pemimpin besar. “Pemakaman adikmu masih belum selesai. Lanjutkan sana,” ujar Naoto, “Atau kamu masih ingin membuat kesedihan di tempat ini menjadi dua kali lipat.

Mendengar hal itu, Mitsuhiro terkejut tanpa bisa berkata apa-apa. Tanpa banyak bicara, ia lalu segera berbalik ke tengah pemakaman untuk meneruskan pemakaman adiknya.

Jujur saja, Naoto tidak begitu menyukai hubungannya dengan Mitsuhiro, pertanyaan yang senantiasa muncul dari dalam benaknya adalah 'kenapa senpai bisa memiliki kakak seperti ini?' Sungguh dunia ini penuh dengan kejutan, konon ia juga cukup sering membuat onar di bar dan memukul wartawan yang dibencinya.

Pemakaman Souji dilanjutkan kembali dan berakhir tidak lama kemudian tanpa suatu gangguan berarti selain batuk yang terjadi berulang-ulang oleh sang biksu ketika membacakan doa. Kembali pemuda itu mengikuti prosesi bersama dengan Ryoutarou dari kejauhan, dalam kesedihannya itu, sebagian dari rasa ingin tahunya terusik ketika mengingat pria asing itu tetapi ia tidak ambil pusing. Ia segera berlalu dari tempat itu ketika teman-temannya yang masih berlinangan air mata, hidung sembab dan memerah berjalan keluar menemuinya untuk kembali ke kota asal mereka—Inaba sambil berisak tangis.

---

Dalam perjalanannya kembali ke Inaba. Di bagian gerbong belakang kereta yang dinaikinya, raut wajah kesedihan masih belum sirna dari wajah beberapa orang yang duduk di tempat itu, termasuk Naoto sementara Ryoutarou sibuk menenangkan Nanako, anaknya yang sepertinya tidak akan berhenti menangis hingga kelenjar air matanya rusak, seperti halnya Yukiko Amagi yang kini berpakaian hitam-hitam dengan menyisakan warna merah hanya pada bando yang menghiasi kepalanya. Ini semua...hanya terlalu menyakitkan.

“Sudahlah, kalian semua....menangispun tidak akan menghidupkan master lagi...” Ujar Yosuke mencoba menghibur yang kali ini tanpa disertai headphone yang biasa dibawanya kemana-mana kecuali jas hitam yang dikenakannya kali ini.

“Aku tahu itu, Yosuke.....aku tahu itu....t-tapi.....” Sia-sia usaha pria berambut pirang itu kecuali isak tangis Yukiko yang semakin menjadi-jadi, apalagi Rise (yang tentunya lebih keras) diikuti Teddie dan Chie Satonaka serta Nanako, bahkan Kanji yang biasanya tampak garang juga tampak sangat terpukul, situasi yang sungguh memilukan....gerbong ini kini lebih mirip sebagai tempat orkestra kesedihan tanpa akhir daripada sebuah bagian dari sebuah alat transportasi massal.

Good luck senpai..

Dalam hatinya yang terdalam, Naoto sama sekali tidak menyadari jika itu akan menjadi kata-kata terakhir yang akan diucapkannya pada pria berambut perak itu ketika laju kereta memasuki sebuah terowongan di tengah hujan yang terus menerus turun seakan menangisi dia yang meninggal hari ini.

Kini ia tahu, satu hal yang pasti...ia harus mencari siapa pelakunya, apapun yang terjadi. Ia tahu betul dan yakin jika teman-temannya memikirkan hal yang sama, seorang Souji Seta tidak pantas mati seperti itu. Dengan perlahan, ia mengambil sebotol air mineral yang ada di dekatnya dan meneguk isinya sembari terus berpikir.

Hanya ada satu benang merah yang dapat ia tarik dari masalah ini, semua korban adalah mereka yang terlibat kejadian itu...tapi, apa mungkin Izanami yang melakukannya—sungguh konyol jika membayangkan seorang Izanami menggunakan sebuah senapan untuk membunuh ketimbang memakai kekuatannya, ia sudah lenyap..tapi semua itu....tidak ada keraguan tentang benang merah itu, tapi pada saat yang sama ia teringat pada satu hal..pada saat itu, serangan juga ditujukan pada tiga orang kepala keluarga Grup pengusaha yang lain dengan cara yang relatif sama. Sama-sama tidak meninggalkan petunjuk yang berarti, bahkan dari ledakan di atas gedung itu selain membuat orang panik, selain menganggapnya sebagai serangan teroris...Ini semua aneh, seperti kejadian yang lalu...kasus ini tidak akan jadi sesederhana itu.

Naoto lalu kembali meletakkan botol air mineral itu setelah selesai meminumnya. Ia lalu memandang ke arah jendela di tengah hujan air mata di sekitarnya dan perlahan ia mulai larut dalam lamunannya.

Ia teringat kembali pada sosok pemuda misterius yang dijumpainya tadi.


--------------------------------------------------------------------------------
Kembali Ke Atas Go down
separated-union




Male Jumlah posting : 15
Quote : In nothing we trust
Money : 28730
Registration date : 01.07.09

Persona-User Information
Name:
Persona:
Gender:

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 01, 2009 9:50 am

BAB 2 : The New Student

INABA, JEPANG

Pukul 6.00 pagi

Dua orang lelaki bertemu. Ruangan itu gelap. Bergaya modern minimalis dengan dinding bewarna putih yang menghiasinya, Suasana itu sempat terdiam ketika salah seorang dari pria itu mengamati secarik kertas yang kini baru saja diserahkan padanya.

“понимаете?--paham?” tanya lelaki yang berwenang itu dalam bahasa Rusia. Dia duduk di dalam kegelapan, jauh dari cahaya.

“Ya,” Ujar pemuda berkulit pucat itu. Kata-katanya terdengar datar tanpa ekspresi. Dengan tenang ia lalu mengambil sebuah korek api gas dari meja dan membakar kertas itu hingga menjadi abu secara perlahan-lahan di atas sebuah asbak kosong yang terbuat dari kaca.

“Pastikan tidak ada orang lain yang tahu soal ini..”

Mata sang pembunuh itu berkilap. Dia lalu mengeluarkan sebuah koper kecil dan meletakkannya di atas meja.

Menyaksikan semua hal itu, lelaki yang duduk dalam kegelapan tampak senang “Tinggal sebentar lagi....hingga semuanya selesai...” ujarnya dalam hati sementara di luar sana, hujan terus turun dengan lebatnya sejak kemarin menciptakan kabut yang menyelimuti kota.

---------------------------------------------

Pukul 7.30-- 1 minggu kemudian

Udara pagi hari di bulan April itu entah kenapa luar biasa gerahnya. Seorang pemuda tampak memandang ke arah lapangan sekolah yang sepi dari balik jendela kelasnya. Dengan seksama ia memperhatikan mobil-mobil yang melintas di depan gerbang sekolahnya sambil menghela nafas, betapa tidak...tidak ada suatu petunjuk baru dari kasus yang dihadapinya kecuali pertikaian antar keluarga yang semakin sengit di Tokyo, bahkan berdasarkan berita yang terakhir kali didapatkannya sudah menelan korban hampir seratus orang dengan kerugian harta tak terhitung lagi di kedua belah pihak.

Belum lagi belakangan kepolisian Inaba dibuat sibuk oleh penjagaan penjara Inaba, dimana Mitsuo Kubo ditahan, diperketat menyusul serangan keluarga Seta terhadap pejabat serikat buruh yang tunduk pada keluarga Kubo. Tokyo kini tak lebih dari medan perang, dan hasilnya....nihil kecuali harga saham Nikkei yang terus anjlok, orang-orang takut keluar dari rumah dan pemerintah yang semakin kehilangan wibawanya di mata rakyat karena sama sekali tidak berdaya menghadapi semua itu. Jika Naoto ingin menuduh orang yang menyebabkan keruwetan masalah sekarang, pastilah ia akan menunjuk Mitsuhiro Seta, jika saja ia tidak memulai serangan gila-gilaan seusai pemakaman Souji, semuanya tidak akan jadi ini seperti ini.

Ia lalu menyandarkan kepalanya ke belakang dengan kesal ia melempar koran yang baru saja dibacanya ke atas meja dan mulai mengamati keadaan ruang kelasnya yang baru di tahun ajaran yang baru.

Ruangan itu adalah ruang kelas 2-1, ruangan yang sama dengan yang pernah dikunjunginya saat istirahat ketika bertemu dengan Souji tetapi entah kenapa, ruangan itu kini telah berubah sehingga Naoto merasa janggal ketika masuk ke dalamnya. Beberapa perabot kelas diganti dan segala sesuatunya menjadi lebih baik. Meja tulis yang banyak coretan di bagian depan kelas kini sudah tidak ada. Begitu pula dengan nasib papan tulis yang melekat di dinding kelas yang telah pecah karena dilempar bangku oleh salah satu mantan siswa kelas ini.

Tiba-tiba sebuah tepukan melayang ke arah pundaknya, membuat dirinya menoleh ke belakang, ke arah si pelaku ketika ia melihat sebuah wajah seorang wanita yang cantik dengan rambut merah yang sangat mencolok kini telah berdiri di belakangnya dengan senyuman kecil.

“Halo, Naoto-kun...”

“Rise-san....hmm...sudah lama ya....” ujarnya dengan tenang.

Rise mengangguk pelan. “Sejak waktu itu...” Matanya terlihat sayu. Melihat hal itu, Naoto hanya bisa menghela nafas panjang. Wanita ini masih belum bisa menerima rupanya, wajar saja...dulu dia terlibat cinta segitiga dengan senpai hingga dia lebih memilih Yukiko-senpai. “Bagaimana dengan pekerjaanmu, Rise-san? bukankah seharusnya kau ada rekaman hari ini?”

Perempuan itu hanya menggeleng, “Setelah apa yang terjadi di Tokyo, semua kontrak yang diajukan padaku batal demi alasan keamanan....bahkan dari yang kudengar hari ini, keluarga senpai kembali menyerang kelompok germo milik keluarga Kubo...wajar saja managerku cemas..”

Ia lalu duduk sebuah bangku kosong di sebelah Naoto Shirogane dengan santai sambil berteriak, “Semuanya ini menyebalkan!!!” membuat Naoto hanya menatapnya sambil tersenyum, meski demikian lebih baik melihatnya seperti ini ketimbang melihatnya menangis seharian seperti waktu itu. “Kalau saja kita bisa memakai itu di dunia nyata...”

“Tenanglah, Rise-san....” Ujarnya sembari matanya melihat ke arah jam dinding yang bersuara monoton yang tergantung di atas kelas. Jam 7.30, Kembali ia melihat ke arah jendela ketika sesosok siswa berambut putih dengan cara berpakaian bak seorang berandalan berlari terbirit-birit bagaikan dikejar hantu.

Dia itu....Keluh Naoto dalam hati sementara Rise masih dengan gaya cerianya kembali berkata pada sosok Naoto Shirogane yang kini telah memalingkan wajahnya dari jendela ke arah papan tulis yang masih tak bernoda itu.

“Oh, ya...sudah dengar belum, katanya hari ini kita akan kedatangan siswa baru di sini...”

Siswa baru?! Mendengar kata itu entah kenapa pikiran Naoto segera terbayang pada sosok yang dilihatnya di pemakaman, Jangan-jangan??

“Hei...Naoto-kun?” panggil Rise dan ekspresi wajahnya tampak agak khawatir, takut jika ucapannya salah. Membuyarkan pikiran Naoto.

“Ah....i-ya...soal siswa baru-kan..”

“Ya...tapi kamu nggak apa-apa kan?” Tanya Rise. Naoto menggelengkan kepalanya ketika pintu kelas yang berbentuk sebuah pintu geser dibuka dengan kasar saat seorang lelaki berbadan besar berlari masuk ke dalam, membuat suasana kelas yang tadinya ramai menjadi sunyi. Begitu pula dengan dua orang yang sedang bercakap-cakap itu yang kini hanya diam mengamati pria itu yang kini dengan wajah yang bersimbah keringat dan nafas yang tersengal-sengal menatap kepayahan pada jam dinding kelas itu, tak lama berselang ia menghela nafas lega.

“Hhh...masih sempat...” Ia lalu memalingkan wajahnya ke arah seantero kelas, yan terdiam melihatnya seperti melihat seekor anjing yang terkena rabies masuk kelas. Entah kenapa melihat keadaan yang sedemikian ini, ia berteriak hingga suaranya bergema di lorong. “APA KALIAN LIHAT-LIHAT!!!”

Mendengar hal itu, kontan seperti seorang jendral memerintah bawahannya suasana kelas berangsur kembali ramai, tapi saat itulah Rise berteriak, “Dan kenapa kau berulah seperti itu, Kanji-kun!!!!”

“Bukan urusanmu!!!!!”

“Lalu bagaimana jika yang bertanya itu adalah Naoto-kun??” Ujar Rise seraya menunjuk ke arah pemuda yang duduk di sebelahnya itu. Membuatnya protes, “R-Rise-san!?” sementara Kanji mendadak terdiam dengan wajah yang memerah karena kikuk dan grogi.

Well...berbicara tentang hubungan Naoto dengan Kanji Tatsumi sebenarnya bisa memicu berbagai kontroversi, mereka adalah sama-sama pria, tetapi cara mereka bersahabat sepertinya sudah jauh dari kata sahabat, lebih tepatnya sebagai intim (mungkin orang bisa mengatakan mereka sebagai homo kalau mereka tidak mengerti). Tapi terhadap semua itu, mereka berdua sama sekali tidak pernah ambil pusing.

“M-maaf...kalau begitu...” Ujarnya malu-malu ketika tanpa disadarinya seseorang telah berdiri di belakangnya, seorang wanita bermakeup tebal, berambut merah...sebuah pemandangan yang sangat canggung apabila dikaitkan dengan sebuah institusi badan pendidikan bernama sekolah. Penampilannya lebih mirip seorang (maaf)....pencari lelaki muda di pinggir jalan.

“Dan jika kau telah sadar dengan kesalahanmu, Kanji-kun...maka...ahh...bisakah kau segera duduk di mejamu...atau kau lebih senang berdiri di luar?” Ucapannya itu membuat Kanji hanya bisa mati kutu dan segera berjalan ke arah sebuah bangku kosong yang tersisa di belakang Rise Kujiawa yang sekarang terduduk manis di meja seiring dengan semakin dekatnya langkah sang guru menuju mejanya di depan papan tulis.

Seperti kelas pada umumnya di tengah situasi yang tidak umum, ketua kelas berdiri dan diikuti oleh siswa yang lain memberi salam dengan menghormat setelah itu kembali duduk sementara Naoto melihat ke arah koran yang dilemparnya tadi pada artikel yang berjudul, “Kemanakah Polisi??” sebuah artikel yang mengkritik ketidakmampuan pihak kepolisian yang dianggap gagal dalam menangani masalah bentrokan kelompok di Tokyo. Tidak ada satu hal lain yang menarik hatinya kecuali hanya helaan nafas panjang sementara basa-basi perkenalan wali kelas murid itu berlangsung selama 10 menit dengan berbagai macam kata-kata rayuan dan beberapa ucapan bernada sinis yang diarahkan pada siswi-siswi yang dibencinya (dalam hal ini adalah Naoto---ingat kontes kecantikan lalu dan Rise Kujikawa) yang terkadang ditanggapi diam-diam oleh Naoto dengan senyuman sinis tanpa makna. Bisa dipastikan jika ini adalah tahun ajaran yang berat baginya dan teman-temannya yang lain di kelas yang sama.

Setelah beberapa saat kemudian, sang guru yang bernama Noriko Kashiwagi memulai pengenalan murid baru yang disambut oleh para murid dengan sangat antusias, wajah baru..seribu rencana baru.

Apa jangan-jangan..entah kenapa Naoto merasa ada yang tidak beres.

“Hari ini kita kedatangan seorang siswa baru dari Rusia untuk belajar bersama kita selama satu tahun kedepan. Dia seusia dengan kalian tentunya dan lebih manis....huhuhu...sayang ia bukan orang Spanyol...akan tetapi dia masih cukup awam dengan kebudayaan dan kebiasaan kehidupan di Jepang. Kuharap kalian mau membantunya dengan indah...”

Untuk sesaat kelas menjadi riuh sejenak dan pada saat yang sama Rise yang ada di sebelahnya berbisik pelan tidak percaya “Oh, Tuhan!!! kenapa ia bisa masuk kemari....ini bisa menimbulkan kesalahpahaman internasional..”

Mendengar hal itu, Naoto hanya mengangkat satu alisnya dengan pandangan tertuju pada Rise sambil tersenyum percaya diri, “Setidaknya kita harus bimbing dia ke jalan yang benar.”

Kashiwagi yang berdiri di depan kelas selaku sang guru lalu menenangkan kelas dan kembali melanjutkan dengan berkata, “Nah,....silahkan masuk...” Ucapan sang wali kelas itu lalu mendapat respon dari para siswa dengan sebuah sikap diam seolah-olah menunggu seorang yang sangat diharapkan waktu ketika pintu geser yang kembali tertutup itu terbuka kembali untuk kesekian kalinya menampilkan sesosok pria yang berjalan masuk.

Dan saat itulah mata seorang Detective Prince terbelalak terkejut setengah mati saat menatap ke arah pria itu, seorang yang berkulit pucat, berbadan tinggi, tegap, dan dengan ketenangan yang luar biasa ia menatap lurus, dingin tanpa ekspresi...tapi buka karena tegang....rambutnya bewarna hitam.

“Perkenalkan, saya Vladimir Alexandrov Dostoyevsky. Panggil saja Vlad. Senang bertemu kalian” Ujar pemuda itu dengan nada datar dalam bahasa Jepang yang fasih ketika kedua matanya yang bewarna merah menatap ke arah kelompok Naoto yang duduk saling berdekatan.

“Mohon kerjasamanya.” Ujar pria itu mengakhiri sesi perkenalannya dan segera duduk di bangku yang telah ditunjuk oleh sang guru, Noriko Kashiwagi. Di tempat yang sebenarnya kalau bisa dihindari oleh pemuda itu, bangku depannya.

Pemuda itu lalu berjalan ke arah bangkunya sambil tersenyum dingin dan menyelipkan secarik kertas kecil pada Naoto Shirogane secara tersembunyi dengan sedemikian rupa sambil menatap ke arahnya dengan kedua bola matanya yang bewarna merah darah dengan tatapan yang beku. Membuat Naoto tampak gugup saat membukanya ketika ia melihat tulisan

HIUN ISDA SAEO EBNT NEGO ARAC NTNH

GEMA BMUN


Ini tidak mungkin!!! Seru Naoto dalam hati, ia memandang ke arah lelaki yang ada di hadapannya itu, yang tersenyum....seakan tertawa saat sebuah peluru terarah kepadanya...dia adalah pria yang dilihatnya di pemakaman itu....apa maunya di sini?? Apakah....dan lagipula...mata merah itu......jangan-jangan....sungguh kini yang dirasakan oleh Naoto hanyalah satu...ketakutan yang merasuk ke dalam relung hati yang terdalam...seakan sebuah peluru akan menembus tubuhnya dari balik bola mata itu...

Dan siapa pula yang akan sadar jika tirai pertunjukkan bernama Tragedi itu baru akan dibuka....

“Kau tidak apa-apa Naoto-kun?” Tanya Rise Kujikawa yang ada di belakangnya, tapi pemuda itu hanya terdiam, ia menggelengkan kepalanya seraya mengusap keringat dingin di atas mulutnya..

sementara itu, di sebuah tempat... dua lembar kartu tarot tergeletak tak bertuan bergambarkan sosok dewa pencabut nyawa nyawa yang tersenyum lebar.....


--------------------------------------------------------------------------------
Kembali Ke Atas Go down
separated-union




Male Jumlah posting : 15
Quote : In nothing we trust
Money : 28730
Registration date : 01.07.09

Persona-User Information
Name:
Persona:
Gender:

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 01, 2009 9:56 am

BAB 3 : The Bloody Moon

Pukul 13.00

Uang, uang dan uang. Setidaknya itulah satu-satunya hal yang terbersit di dalam pikiran seorang gadis berambut pirang yang panjang dengan postur tubuh yang tinggi dan bisa dikatakan sebagai seksi saat kedua kakinya melangkah dengan ringannya seolah tanpa beban dalam perjalanannya menuju ke rumahnya yang besar di daerah timur pinggiran kota Inaba yang sunyi ketika burung gereja dengan cerianya terbang tanpa beban di langit-langit yang dihiasi oleh beberapa lampu jalanan dan tiang listrik yang tak bergeming.

Ia melihat ke arah jam tangan Guess yang dikenakannya dan ia lalu mendesah, baru jam 13.00, ayo dong, masa cuma ini yang kudapatkan. Cih!! Sia-sia aja aku membolos pelajaran hari ini. Pikirnya dalam hati dengan jengkel saat langkah kedua kakinya terhenti di sebuah rumah besar bewarna putih yang ada di daerah itu.

Tapi, yaa....sudahlah, apa yang mau dikata. Ia lalu menuju ke arah pintu masuk rumahnya yang terletak agak jauh dari pinggir jalan. Menghadap ke sebuah pintu besar bewarna coklat tua yang berdiri kokoh seakan tidak tertandingi, membuat tubuh gadis itu kelihatan begitu kecil sewaktu tangan kanannya memasukkan sebuah anak kunci bewarna perak ke lubang kunci yang tampak sangat tak sebanding dengan besarnya pintu yang dijaga kerapatannya itu, yang bewarna emas dan terbuat dari kuningan.

Kunci itu lalu menjalankan tugasnya dengan baik. Pintu itu terbuka lebar secara perlahan menampilkan isi rumah yang ada di dalamnya. Ini semua adalah buah kerja keras keluarganya, dipandanginya seisi interior rumah itu yang bergaya klasik minimalis seiring langkah kaki pertamanya di lantai rumah itu, akan tetapi apa yang didapatinya pertama kali itu tidak lain selain kedua matanya yang terbelalak lebar ketika ia mendapati beberapa bercak darah yang mengalir di beberapa bagian lantai rumahnya, saat kedua matanya mendapati jasad seorang pembantunya yang sudah terbujur kaku di lantai, tak bernyawa kecuali bersimbah cairan kental bewarna merah yang keluar dari kepalanya yang sudah tidak utuh mengotori sebuah karpet Persia yang berbulu halus. dengan beberapa potongan daging kepala yang kecil. Rumah itu kini lebih mirip tempat pejagalan ketimbang sebuah istana.

Apa yang terjadi? Tanya gadis itu dengan ngeri pada dirinya sendiri ketika ia mendapati seseorang mengacungkan sebuah pistol ke arah matanya dengan tatapan mata yang sangat dingin tanpa ia sadari.

“Jika kau ada dalam keadaan seperti ini, kepada siapa kau akan meminta tolong??” Tanyanya dengan nada datar tanpa ekspresi dengan mata bewarna merah menyala terang meminta darah dari balik kacamata hitamnya itu.

“T-Tuhan....ya...Tuhan...” Dan saat itu pula pria itu menarik pelatuk pistolnya, membuat sebutir peluru melesat kencang dari larasnya menuju ke bola mata gadis yang cantik itu, berputar cepat mengebor jaringan mata kanan Ai yang dilewatinya bagai menggali kuburannya sendiri, bersemayam di dalam kepala Ai Ebihara untuk sepersekian detik sebelum akhirnya membuat sebuah jalan menembus tempurung kepala belakang, membuat sosok Ai Ebihara, Manajer tim olahraga Yasogami High School itu roboh ke lantai bersama dengan semua barang yang dibelinya dan menghembuskan nafas akhir tanpa bisa menutup mata.

“неправильные ответы—jawaban yang salah...” Ujarnya sambil menatap ke arah mayat gadis itu yang bagian belakangnya mulai mengeluarkan cairan kental bewarna merah. Ia lalu menyarungkan pistolnya dan menyalakan rokoknya sebelum akhirnya ia beranjak pergi dari tempat itu sambil melemparkan sebuah kartu tarot pada sang mayat.

Satu peluru....satu kartu....satu nyawa.....

Ia lalu mengeluarkan sebuah kertas kecil dari balik saku jasnya yang bewarna hitam dan berjalan pergi seusai mencoret sebuah nama yang tertulis di daftar nama itu..

Ai Ebihara



--------------------------------------------------------------------------------

Pukul 18.00

HIUN ISDA SAEO EBNT NEGO ARAC NTNH

GEMA BMUN


Naoto Shirogane menatap kertas kecil yang ada di hadapannya itu dengan begitu gusar ketika dering telepon genggamnya yang diletakkan di atas meja belajarnya itu memutuskan pikirannya. Dengan segera Naoto menjawab panggilan tersebut. “Shirogane!” Rupanya Ryoutarou Doujima-lah yang menelpon.

“Salah seorang siswa di sekolahmu ditemukan mati siang ini!”


--------------------------------------------------------------------------------

Pukul 18.30

Rumah Ai Ebihara sekarang telah diisolasi. Hanya orang-orang yang bersangkutanlah yang diperbolehkan untuk memasuki TKP pembunuhan tersebut. Orang-orang yang tidak ada kaitannya terpaksa memuaskan rasa ingin tahu mereka dengan sebatas melihat=lihat dari luar pagar sambil menggunjingkan cerita versi mereka sendiri.

Ryoutarou Doujima tiba di tempat itu lebih awal daripada Naoto Shirogane. Ia masih sempat memeriksa tubuh Ai Ebihara sebelum jasad siswa kelas 3 Yasogami High School itu dimasukkan oleh tim forensik ke dalam ambulans. Ada sebuah luka bekas tembak yang menghancurkan bola mata kanannya, sebuah tanda jika ia ditembak cukup dekat oleh pelaku. Darah yang keluar dari luka itu masih terus membasahi sebagian besar wajah Ai Ebihara, meski kini luka tersebut sudah mengering. Hebatnya selain bekas luka itu, ia sama sekali tidak menemukan luka yang lain, sama seperti yang ia dapatkan ketika memeriksa mayat dua orang pembantu rumah tangga yang ikut terbunuh bersamanya.

“Senjata apa yang dipakai?” tanya Doujima.

Sayangnya tidak ada seorang anggota forensik manapun yang bisa menjawabnya dengan detail, “Sejauh ini, yang kita ketahui adalah bahwa senjata itu berjenis senjata api laras pendek..”

“Hanya itu?” Doujima bergidik, ia benar-benar bingung sekarang...bagaimana kasus pembunuhan yang dilakukannya sekarang itu sama sekali tidak bisa memberikan bukti yang jelas. Apakah ini polisi yang tidak mampu atau....pelaku yang benar-benar cerdik. Ia menelan ludah dan tanpa sadar menyeringai. Dibiarkannya petugas forensik itu membawa pergi tubuh Ai beserta korban yang lain, kemudian Naoto datang. Pemuda itu setengah berlari untuk bisa menghampirinya di depan rumah Ebihara.

“Itu mayatnya?” Tanya Naoto sambil memperhatikan mobil ambulans yang baru saja berlalu di depan matanya.

Ryoutarou mengangguk. “Kepalanya ditembak pas dimata dengan pistol,” ia menjawab dengan suara lemas.

Naoto mengeryit saat mendengar informasi itu, tapi ia tidak berkomentar apa-apa. Mereka memasuki rumah besar itu. Rumah itu memiliki satu ruang keluarga, lima kamar tidur dan dua kamar mandi. Kesemua ruangan itu diisi dengan berbagai perabot yang mewah dan dinding-dinding yang menjadi batas antara ruangan-ruangan itu tampak putih tanpa noda.

Meski demikian, keadaan itu tidak berlaku di ruang depan dan ruang kerja di lantai yang sama, tempat dimana kesemua mayat ditemukan. Bau amis segera tercium pada saat mereka memasuki ruangan itu. Di salah satu sisi ruangan, sisi yang bersebrangan dengan pintu masuk terdapat ruang kerja yang setengah terbuka. Darah mengotori pintu dan lantai, karpet, sofa, meja dan lukisan dan menggenang di beberapa tempat.

“Siapa yang menemukan tubuh Ai Ebihara?” Tiba-tiba Naoto bertanya pada Ryoutarou yang berdiri di belakangnya.

Ryoutarou Doujima menjawab, “Yukiko....dia yang menemukannya ketika ia secara tidak sengaja melihat rumah ini begitu sepi dan pintu masuknya tidak terkunci. Dia melapor ke polisi dan sekaranglah hasilnya.”

Yukiko-senpai yang menemukan ini semua?? Tanyanya dalam hati. Man...

“Apa rumah ini kosong saat polisi datang?”

“Kosong.”

Naoto lalu mengangguk, Semoga saja Yukiko tidak apa-apa...ia lalu berjalan menghampiri meja tamu di atas sebuah karpet Persia yang telah kotor terkena darah saat tangannya itu meraba ke bagian bawahnya dan mendapati selembar kartu tarot yang bersimbah darah terjepit di bawahnya. “Tarot?” Tanya Naoto dalam hati setelah melihat kartu itu, yang ukurannya tidak terlalu besar.

Melihat pemuda berambut biru itu menemukan sesuatu yang menarik, pria berusia sekitar tiga-puluhan itu berjalan menghampirinya guna mencari tahu benda itu. Ia memperhatikan pemuda itu membalik-balik kartu itu, sebuah kartu dengan warna dominan biru dengan logo berbentuk bintang dari berbagai macam segi melingkar di belakangnya, wajahnya tampak serius saat mengamati kartu itu dan lalu mulai mengawasi sekitarnya dengan seksama seperti menghafal perabot-perabot yang ada di rumah itu sekalipun tim forensik telah mencatat semua detail kejadian itu. Bersama-sama dengan pemuda itu, mereka mengamati TKP dengan seksama sebab seringkali mereka menemukan hal-hal yang terlewatkan oleh tim forensik.

“Bagaimana menurutmu, Shirogane?”

Ryoutarou bertanya kembali padanya. Gaya polisi itu bagaikan seorang atasan yang sedang mengetes bawahannya membuat sang pemuda hanya bisa menghela nafas panjang sembari menatap mata coklat Ryoutarou dengan penuh keyakinan dan kepercayaan diri.

“Jika dilihat, pelakunya sama dengan yang membunuh Souji-senpai dulu...” Ujarnya.

“Dibunuh oleh orang yang sama?”

“Ya, saya rasa demikian. Hanya saja sepertinya pelaku kali ini meninggalkan sebuah barang bukti...”

“Lalu kenapa kau yakin akan keberadaan kartu tarot ini sebagai sebuah pesan?” Ryoutarou menatap Naoto dengan tatapan mata yang bingung. “Ya, kartu tarot..”

“Ya, tentu saja sebab berdasarkan apa yang telah kukenal dari sosok Ai-senpai adalah jika ia benci ramalan dan bukan seorang pengoleksi benda-benda seperti ini kecuali baju. Jika dipikirkan ulang, dikatakan sebagai orang yang sama karena cara yang sama rapinya...”

“Darimana kau yakin?”

“Jika di peluru dan selongsongnya sama sekali tidak ditemukan goresan dan lihatlah...aku sama sekali tidak menerima kabar adanya kerusakan di jendela atau pintu, atau bahkan sidik jarinya di semua benda di ruangan ini, semuanya hilang bagai asap...” Naoto menunjuk ke arah sekitarnya. “Mungkin nanti kita akan memeriksanya lagi.”

Ryoutarou mengangguk. Mereka berdua lalu berjalan keluar dari TKP. Sekitar rumah Ai Ebihara itu kini semakin ramai didatangi oleh orang-orang, termasuk wartawan dari berbagai media massa yang datang bagaikan nyamuk di musim panas. Ryoutarou sempat terpaku di hadapan semua itu. Perhatian polisi itu tertuju pada sesuatu di antara kumpulan orang. Dengan bingung, Naoto mengikuti arah pandang Ryoutarou.

“Ada apa Doujima-san?” tanyanya.

Pertanyaan itu tidak dijawab. Ryoutarou malah memberinya sebuah instruksi, “Tolong siapkan semua hasil forensik, informasi-informasi lain yang bisa kau dapat dan lindungi-lah Amagi.” Setelah itu mereka berjalan meninggalkan TKP setelah berhasil mengamankan saksi mereka, Yukiko Amagi dari serbuan pertanyaan wartawan yang terlontar bagaikan seribu pisau yang melayang ke arahnya.

Ditariknya tangan Yukiko Amagi yang tampak bingung dengan apa yang dihadapinya kini di depan TKP dan mereka lantas berjalan masuk ke dalam mobil dan pergi dari tempat itu.

--------------------------------------------------------------------------------

Mobil patroli itu melaju di jalanan kota Inaba sambil mendengarkan siaran radio lokal yang berisi lagu-lagu top chart saat itu. Naoto duduk di bangku depan bersama dengan Ryoutarou sementara Yukiko duduk di belakang. Perjalanan menuju ke kantor polisi di kota kecil itu memakan waktu setengah jam. Dan setidaknya mereka kini sudah bisa bernafas lega setelah lepas dari serbuan nyamuk-nyamuk pers yang beberapa saat yang lalu mulai mengerumuni TKP.

Di dalam mobil, Naoto mengamati jalan-jalan di sekitarnya sementara Ryoutarou mengemudikan mobil itu dengan tenang dengan sangat luar biasa dan sangat konservatif, melaju dengan kecepatan stabil, tidak ada sentakan-sentakan yang mengganggu saat menambah atau mengurangi kecepatan dan ia selalu memberikan cukup ruang di bagian belakang dan depan mobil.

“Sudah lama ya, senpai..” Ujar Naoto pada sosok Yukiko yang sedang duduk diam di belakangnya memandangi pemandangan di luar kendaraan itu ketika lajunya terhenti sejenak di lampu merah.

“Ya...sejak waktu itu.....bagaimana kabarmu, Naoto-kun?” Ujarnya dengan suara pelan.

“Baik-baik saja.....senpai sendiri?”

“Ya....aku baik-baik saja. Aku sehat...”

Mereka terdiam..memang dalam keadaan tertentu adalah sebuah masalah untuk bisa mengajak bicara seorang Yukiko Amagi yang terkenal cukup pendiam di sekolah....sebuah tanda tanya besar memang membayangkan apa yang dilakukan oleh mendiang Souji Seta pada gadis ini sehingga mereka bisa jadian cukup lama, jika tidak diputuskan paksa seperti ini.

“Naoto-kun....”

“Huh?”

“Apa ini ada hubungannya dengan Souji-kun?”

Naoto dan Ryoutarou hanya bisa mendesah terdiam sejenak ketika di depan mereka, kantor polisi telah menunggu dengan gedung yang menjulang.

“Entahlah, tapi yang jelas...kami mohon bantuanmu senpai..” Ujar Naoto saat mobil itu memasuki area parkir dan berhenti.

--------------------------------------------------------------------------------
Kembali Ke Atas Go down
separated-union




Male Jumlah posting : 15
Quote : In nothing we trust
Money : 28730
Registration date : 01.07.09

Persona-User Information
Name:
Persona:
Gender:

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 01, 2009 9:57 am

Lanjutan...
--------------------------------------------------------------------------------


Pukul 20.00

Sampai beberapa waktu silam, selama lebih dari 2 minggu, pembunuhan berantai kali ini telah sukses menjadi sebuah momok bagi masyarakat dan kepolisian dan bahkan pemerintah Jepang dari pusat hingga daerah. Bagaimana tidak, pembunuhan yang begitu rapi...satu peluru...satu nyawa, tanpa bukti dan tanpa jejak bagaikan hantu dan perang geng yang mewarnai konflik besar dari beberapa pembunuhan ini sudah cukup sukses kiranya untuk dijadikan bahan cerita film kandidat piala Oscar.

Naoto Shirogane menyerahkan secarik kertas pada Ryoutarou sekaligus berkata, “ Ini daftar orang yang meninggal dengan cara yang relatif sama belakangan ini,”

Saat ini malam sudah mulai larut, tapi Naoto dan Ryoutarou masih berada di ruang penyelidikan mereka di kepolisian Inaba. Mereka hanya berdua di ruangan itu, menghadapi berbagai berkas kepolisian yang mereka kumpulkan dengan ditemani dengan secangkir kopi panas. Daftar orang-orang itu adalah:

- Saburo Ichikawa

- Keitaboshi Mishima

- Tarou Namatame

- Tohru Adachi

- Souji Seta

- Ai Ebihara

Setelah memperhatikan daftar itu sejenak, Ryoutarou mengambil secarik kertas lain untuk disandingkan dengan daftar buatan Naoto. Kertas itu berisi catatan kematian para korbannya.

- Saburo Ichikawa--- satu tembakan pada jantung

- Keitaboshi Mishima--- satu tembakan pada leher

- Tarou Namatame--- satu tembakan pada mulut

- Tohru Adachi--- satu tembakan pada mata dahi

- Souji Seta--- satu tembakan pada jantung

- Ai Ebihara--- satu tembakan pada mata kanan

Naoto lalu membandingkan kedua berkas itu adalah dengan harapan mereka bisa menemukan pola dari pembunuhan tersebut. Dalam sebuah pembunuhan seperti ini, acapkali akan timbul sebuah pola yang mereka ciptakan secara tidak langsung, meski tidak selalu demikian. Untuk sampai pada kesimpulan itu, tentu saja Naoto dan Ryoutarou harus sepakat dan yakin terlebih dahulu jika ini semua adalah tindak pembunuhan berantai. Jika memang salah, mau tidak mau mereka harus kembali lagi dari awal. Ia sudah membuat semua persamaan kejadian pembunuhan itu dengan hati-hati dan sebisa mungkin tidak menarik kesimpulan secara terburu-buru—akan tetapi dengan apa yang ditemukannya, akhirnya mereka sepakat jika semua kejadian ini dilakukan oleh orang yang sama.

Tidak tertangkap oleh saksi mata, rekaman CCTV dan tidak meninggalkan bukti vital lain seperti air liur, sidik jari dan goresan peluru dan terutama sekali senjata pembunuh itu sendiri.

“Dan satu-satunya pesan yang ditinggalkan olehnya hanyalah kartu tarot ini...ujarnya” Ia lalu menunjukkan kartu tarot itu sekali lagi pada Ryoutarou, “Tidak ada sidik jari korban ataupun pelaku tetapi ada di samping korban.” Setdidaknya hanya itulah yang ditemukannya sekarang dan merupakan satu-satunya petunjuk yang cukup masuk akal.

Akan tetapi apa Doujima-san akan percaya? Tanyanya dalam hati, sungguh ia tahu betul jika ia menjelaskan alasan sesungguhnya, hal itu akan berbuah celaan dari Doujima.

“Tapi kita tidak menemukan hal yang sama pada korban sebelumnya...atau bahkan polanya itu sendiri...”

“Pasti ada pola..” ujar Naoto Shirogane, “Satu hal yang kita lihat adalah empat dari korban adalah orang-orang yang terlibat dalam kasus pembunuhan berantai di sini dulu kan??” lanjutnya, “Dan empat orang ini cukup mengenal sosok Souji-kun dengan baik..”

“Lalu bagaimana dengan dua orang ini??” tanya Ryoutarou sambil menunjuk pada tulisan Saburo Ichikawa dan Keitaboshi Mishima. “Kita masih kekurangan bukti lain.. bagaimana dengan hasil forensik?”

Mendengar pertanyaan itu membuat Naoto memberikan sejumlah berkas laporan berupa denah TKP dan foto-foto serta laporan dari saksi mata. “Aku juga sudah bertanya pada polisi yang tiba pertama kali di TKP dan benar saja, pelaku sama sekali tidak merusak pintu atau jendela seperti yang ia lakukan pada korban yang lain.”

“Apa kau yakin dengan semua itu?”

Naoto mengangguk, “Bahkan Yukiko-senpai yang pertama kali menemukannya berkata jika pintu rumah dibiarkan terbuka lebar begitu saja...akan tetapi pada saat ia masuk, semuanya sudah seperti ini...sama dengan yang kau dapatkan..”

Mereka terdiam sejenak, sambil menatap berkas itu,

“Apa jangan-jangan Yukiko yang melakukannya??” Tanya Ryoutarou...

Naoto menggelengkan kepala pelan, “Jangan bercanda....orang seperti Yukiko senpai tidak akan bisa mengangkat pistol, pistolku sendiri bahkan terlalu berat baginya....Lagipula berdasarkan apa yang kudengar dari Chie dan Yosuke -senpai...dia berada disekolah pada saat pembunuhan itu terjadi...”

Ryoutarou hanya mendesah sambil memperhatikan foto-foto yang ada di hadapannya berikut dengan denah. “Sial...!! sudah kasus keenam tetapi kita tetap tidak bisa menemukannya juga...apa mungkin benar jika ini adalah perbuatan Keluarga Kubo.”

“Tidak mungkin, kita sudah menolak dugaan itu, lagipula apa peduli Kurosaki Kubo pada sosok Ai Ebihara, anaknya bahkan tidak mengenalnya...dan pada Saburo dan Keitaboshi, mereka bahkan teman baik....atau bahkan dari keluarga Seta? Itu juga tidak masuk akal....sekalipun mereka dipenuhi oleh penjilat, mereka tetap saja ditekan di bawah kepala keluarga mereka..” Jawab Naoto sambil menyeruput kopi yang ada di hadapannya itu. “Dan kartu itu?”

“Entahlah, aku sama sekali tidak melihat hubungan benda ini....mungkin sebaiknya kau cari bukti lain....” Ujar Ryoutarou ketika kedua mata Naoto menatap ke arah kartu tarot itu “Mungkin saja itu hanya milik Yukiko yang terjatuh ketika menemukannya....tetapi jika kau memang masih memandang itu sebagai bukti....kita harus menahannya sampai kasus ini selesai..”

Naoto mengangguk pelan, “Baiklah kalau begitu...aku akan mencoba menanyakannya pada Yukiko-senpai..lagipula kita sudah selesai menanyainya kan?”

“Ya..., antarlah dia pulang,” kata Ryoutarou , “Kabari aku jika kau menemukan bukti, aku juga akan berbuat demikian.”

“Baiklah, terima kasih Doujima-san...” Naoto lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari tempat itu dengan santai meninggalkan duda beranak satu itu yang kembali sibuk mengamati fotonya ketika sepasang matanya menatap ke arah sebuah foto keadaan di TKP dimana pada salah satu foto itu, ia menemukan wajah seorang pria bermata merah di sudut kiri atas foto itu.

--------------------------------------------------------------------------------

“Maaf membuatmu menunggu selama ini, Yukiko-senpai..” Ujar Naoto ketika sebuah pintu bewarna hijau tidak menarik terbuka ke dalam ke arah ruang interogasi yang sepi dengan hanya sebuah televisi, meja dan sebuah lampu di atasnya yang jika dihidupkan akan menjadi senjata yang cukup sakti untuk memaksa seorang tersangka saat ia mendapati gadis yang merupakan kakak kelasnya di Yasogami High School itu terduduk dengan tenang dalam kesunyian di hadapan televisi yang hanya menampilkan sebuah layar yang gelap saat kedua mata wanita maniak warna merah itu tertuju padanya. Bibirnya mengguratkan sebuah senyuman tipis di wajahnya.

“Tak apa-apa Naoto-kun...”

Sang Detective Prince itu hanya menghela nafas panjang saat ia menatap ke arah wanita itu, “Tak pernah kusangka jika aku akan menemukan salah satu temanku lagi di ruangan ini...”

Yukiko mengangguk, “Ya....sejak masalah Nanako-chan dulu...ia juga duduk di kursi ini kan?”

Mereka terdiam sejenak sementara suara jarum jam yang monoton mengisi suara di ruangan itu. “Tapi, semua itu sudah lewat....Souji-kun sudah pergi...tak ada gunanya juga kusesali...” kata Yukiko, “Tapi setidaknya aku jadi paham rasanya duduk di sini...” Ia tersenyum tipis.

“Maafkan aku, senpai...”

“Apa yang harus dimaafkan, semuanya bukan salahmu....oh, iya apa aku sudah boleh pulang?”

Naoto mengangguk tanpa mengeluarkan suara, ia berjalan mendekati gadis berbando merah itu, “Tapi sebelum itu, ada yang mau kutanyakan..”

“Apa itu??”

Naoto lalu mengeluarkan sebuah kartu tarot bertuliskan 'The Moon' dari saku jaketnya dan menunjukkannya pada Yukiko. Tampak Yukiko mengamati wujud kartu itu dengan ekspresi bingung.

“Dari mana kau dapatkan kartu ini, Naoto-kun?”

“Aku menemukannya di TKP tadi, punyamu??”

Yukiko menggeleng, “Aku memang suka pergi ke kuil, tetapi aku tidak berurusan dengan hal-hal ini....dan apa mungkin ini cuma perasaanku..” Yukiko lalu membalik-balik kartu itu. Membuat Naoto penasaran dan ikut mengamatinya, “Kartu ini...mirip kartu persona kita...”

Ini dia! Pikir Naoto dalam hati, “Kau juga berpikir demikian?”

Yukiko mengangguk, “Ya....dan lebih-lebih lagi coba kau lihat bagian belakang kartu ini...” Yukiko lalu membali kartu itu dan meletakkannya di atas meja dan mulai menunjukkan sesuatu. “Sepertinya ada bagian kecil dari kartu ini yang berpermukaan kasar..coba kalu lihat...”

Naoto lalu mengambil kartu itu dan mulai mengarahkannya ke arah lampu dan benar saja, ia menemukan sebuah pola menyerupai tulisan pada kartu itu. Dengan cepat ia lalu mencoba untuk menyalin pola yang muncul itu—sebuah kumpulan huruf.

Dan apa yang didapatinya hanyalah sebuah kumpulan huruf tak berarti :

EALDIUARNMUAHNHAAAMRKTIGMSCAUURENIUHRKKDYHKMAMAIABUANEN!

WEPSGLT!

Yukiko Amagi hanya bisa memandangi tulisan itu sambil berkata, “Sepertinya itu hanya kumpulan kata tanpa arti...” Akan tetapi tidak pada Naoto. Ia menggelengkan kepalanya perlahan. “Bukan...ini justru sebuah peringatan si pembunuh....”

“Lalu apa kau akan melaporkannya pada Doujima-san??”

“Tidak, Kita tidak mungkin melaporkan ini padanya.....”

“Apa maksudmu?” Tanya Yukiko.

“Kita bertemu di sekolah besok....ada yang ingin kubicarakan dengan semuanya...” Naoto lalu menyimpan kembali kartu tarot itu, “Aku merasa ini ada hubungannya dengan persona dan shadow.....dan alasan pembunuhan Souji-senpai...”'

Yukiko tampak terkejut, “M-maksudmu?!”

“Kujelaskan itu semua besok....”

--------------------------------------------------------------------------------

Di suatu tempat di Inaba

Seorang pemuda berambut hitam, bermata merah terduduk dengan tenang diatas sebuah sofa dalam kegelapan. Ia memandang ke arah jendela luarnya...ke arah kota yang tampak dari ketinggian saat ia mulai mencoret sebuah nama lagi di dalam daftarnya.

FOX


Sementara itu, di sebuah kuil kecil di daerah Central Shopping District...sebuah kartu tarot bertuliskan 'The Hermit' tertempel di sebuah papan permohonan saat sebuah kepala seekor rubah tertancap pada sebuah tiang pancang yang baru saja terpasang di atap kuil itu lengkap bersama dengan kepala rubah lain yang masih kecil di sekitarnya...
Kembali Ke Atas Go down
separated-union




Male Jumlah posting : 15
Quote : In nothing we trust
Money : 28730
Registration date : 01.07.09

Persona-User Information
Name:
Persona:
Gender:

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 01, 2009 10:00 am

BAB 4 : The Sign

Pukul 10.00

Naoto Shirogane kini berhadapan dengan semua orang-orang yang telah membantunya dalam masalah Adachi dulu di sebuah loteng yang sepi di lantai teratas sekolah tempatnya menuntut ilmu di bawah sinar terik mentari yang cerah. Hanya ada dua orang lain yang berdiri di sana, seorang maniak cuaca dan seorang gadis yang senantiasa menatap langit, akan tetapi mereka hanyalah orang-orang yang terobsesi pada kegiatannya masing-masing sama sekali tidak menyadari pertemuan itu.

Di tengah mereka tergeletak sebuah kartu tarot berlambang 'The Moon' di atas sebuah sekat pemisah kecil di dekat solar system tempat mereka biasa duduk berkumpul, bercanda, tertawa atau bahkan sedih dan marah. Tampak Kanji menatap ke arah kartu itu dengan ekspresi wajah yang bingung saat menatap kartu tarot bewarna dominan biru itu, ekspresi wajah yang hampir-hampir serupa juga tampak pada anak-anak yang lain ketika

“Kartu ini adalah salah satu benda yang kutemukan di lokasi pembunuhan Ai-senpai yang sekarang ini sedang dibicarakan oleh hampir semua orang di sekolah ini.” kata Naoto, “Aku mengambilnya kemarin dan oleh Doujima-san...benda ini masih belum bisa dijadikan sebagai barang bukti.”

“O-oke...tapi apa hubungannya dengan pembunuhan master?” Tanya Yosuke, pria berambut coklat itu lalu mengamati kartu itu secara seksama. “Benda ini tidak ada waktu master ditemukan kan?”

Naoto mengangguk, pandangan matanya yang bewarna biru itu lalu menatap ke arah orang-orang yang ada dihadapannya sekarang, mencoba untuk menarik perhatian mereka, “Memang, tetapi coba kalian lihat baik-baik...apakah tidak pernah kalian sadari jika kartu ini mirip dengan sesuatu??”

Yukiko mengangguk, “Ya...apa kalian semua tidak merasa jika kartu ini mirip kartu persona kita?”

Mendengar perkataan itu, mereka segera tersadar apa maksud perkataan Naoto Shirogane itu. “T-tidak mungkin!?” Ujar Yosuke.

“J-jadi kau ingin bilang kalau pelaku itu orang yang tahu persona!?” Tanya Rise, “Apa memang begitu?”

Naoto mengangguk,

“T-tapi Naoto-kun?! Apa ini tidak menutup kemungkinan jika ini hanyalah pembunuhan tiruan seperti Mitsuo Kubo dulu??” Ujar seorang wanita berambut bob bewarna pirang bernama Chie Satonaka dengan tatapan mata sangsi pada sang Detective Price itu, “Lagipula, kembali pada semua itu Naoto-kun....Doujima-san sendiri juga sudah mengatakannya pada kita-kan, tidak ada bukti apapun dari masalah Souji-kun..”

Naoto hanya terdiam tidak menjawab ia hanya membalikkan kartu itu, mengarah pada sebuah simbol di belakangnya.

“Kemarin, aku dan Yukiko-senpai secara tidak sengaja menemukan hal ini pada kartu ini....coba kalian lihat, “Ujar Naoto seraya menyerahkannya pada Chie yang duduk di seberangnya. Membuat semua orang kecuali dirinya dan Yukiko mengamatinya dan benar saja beberapa saat kemudian mereka semua menyadari ada sesuatu yang muncul.

“I-ini semua tampak seperti sebuah motif....” kata Chie, kedua matanya yang bewarna coklat menatap pada Naoto Shirogane yang tampak tenang, “Apa maksudnya ini??”

“Itu adalah surat tantangan pembunuh itu pada kita..” Ujar Naoto, sang Detective Prince itu lalu mengeluarkan sebuah kertas kecil dari saku seragam sekolahnya dan menunjukkan isinya:

EALDIUARNMUAHNHAAAMRKTIGMSCAUURENIUHRKKDYHKMAMAIABUANEN!

WEPSGLT!

“Lalu apa maksud semua ini, Naoto-kun?” Tanya Rise Kujikawa.

“Ya, apa isinya?? Kau bahkan tidak memberitahukan ini semua padaku kemarin..” Ujar Yukiko Amagi.

Mendengar perkataan ini, Naoto Shirogane lalu mengeluarkan sebuah pena dan secarik kertas kosong dari saku seragamnya sekali lagi dan mulai berkata. “Ini adalah sandi pesan si pembunuh pada kita..”

“Sandi?” Tanya Yosuke dengan wajah kaget. “Lalu kalau begitu? bagaimana untuk memulainya? Maksudku....bagaimana memecahkannya?”

Naoto Shirogane tersenyum. “Seperti yang kita lihat, pola yang ada di dalam kartu itu mungkin hanyalah omong kosong tetapi jika kita mengetahui aturannya, semua pesan ini adalah mudah.” Ujarnya membuat semua orang di tempat itu terpana pada kepandaiannya (mungkin pada seseorang, bukan hanya itu saja yang membuatnya terpana...tetapi lebih dari itu)

“Ini adalah jenis pesan rahasia yang digunakan oleh seorang Julius Caesar dari zaman Romawi Kuno dulu, diciptakan dengan cara sederhana untuk menjaga kerahasiaan rencana-rencananya dengan suatu sistem pemangkatan yang sedemikian rupa sehingga terlihat tidak masuk akal.....dan semua cara ini dilakukan dengan mengambil perpangkatan 3 dalam sebuah bentuk bujur sangkar sempuna..” Lanjut orang berambut biru itu.

“H-Hei!! j-jadi maksudmu, yang membuat tulisan di kartu ini adalah Julius Caesar?!” Ujar Kanji Tatsumi dengan heran, “Bukankah dia itu orang dari masa lalu??”

“Oww....diamlah Kanji, kamu itu bodoh banget sih?? Yang Naoto-kun maksud itu yang nemuin tuh Julius Caesar...pembuat pesan ini cuma ngikutin caranya dia aja..kok gitu aja nggak tahu..Rise aja ngerti kok!!” Ujar Rise dengan wajah polos dan gayanya yang khas yang membuat Kanji segera tersulut emosinya.

“Ahh!!! TO HELL WITH THAT!!!!” Pria itu lalu bangkit dan mulai mengomel dengan gayanya yang seperti preman walau sebenarnya itu semua hanyalah wujud dari sikap ekspresifnya yang canggung. (dan agaknya sifat inilah yang membuat rambutnya cepat memutih) membuat Yosuke berujar dengan agak kesal, “Tenanglah!!!”

Kanji menurut, ia segera duduk dengan kesal.

“Oke...jadi maksudmu, semua pesan ini ditulis dalam bahasa Yunani Kuno?? Julius Caesar itu orang Yunani kan?” lanjut pria dengan headphone bewarna orange yang melingkar di lehernya itu dengan penuh percaya diri yang hanya membuahkan tatapan wajah orang-orang yang tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Benar kan?” tanya Yosuke yang hanya berbuah sweatdrop pada anak-anak yang lain, lebih-lebih Chie yang hanya bisa menghela nafas panjang. “Sudahlah, kalian berdua jangan banyak bicara lagi.....makannya kalau pelajaran jangan tidur!!!” ujarnya...

“Chie, KAU!!!!” Ujar Yosuke dibarengi dengan teriakan Kanji yang tidak terima dengan perkataan itu membuat suasana jam istirahat siang yang seharusnya begitu damai menjadi mencengangkan..membuat Naoto Shirogane hanya bisa menghela nafas panjang.

“KALIAN BERDUA DIAM!!! Kita sekarang sedang butuh penjelasan tentang semua ini...kalian sebenarnya mau kasusnya Souji-senpai kejawab nggak sih!!!” Teriak Rise sebal, kedua matanya mulai mengeluarkan air mata yang menggenang, membuat kedua pria yang cukup tempramental itu terdiam dan meminta maaf.

“Lanjutkan Naoto-kun...” Ujar Yukiko Amagi sambil membetulkan posisi rambutnya yang panjang yang diterpa angin, membuat pandangannya terhalang.

“Terima kasih Yukiko-senpai...nah jadi untuk dapat memecahkannya kita harus dapat melihat berapa jumlah huruf dan tanda yang ada pada pesan ini...yang kali ini sudah kutandai yaitu 64 dan cara berikutnya adalah membuat akar 3 dari jumlah huruf dan tanda itu sendiri.” Lanjut Naoto Shirogane,

“Hmm....4....ya akar 3 dari 64 itu 4...?” kata Yukiko, “Lalu?”

“Berapa 4 kuadrat?” Tanya Naoto.

“16...” Ujar Chie.

Naoto mengangguk, “Lalu dari hasil-hasil itu kita akan dapatkan pemisahan seperti ini..” Ia lalu menulis ulang kode itu dalam beberapa pembagian dengan cepat.

EALDIUARNMUA HNHA AAMR KTIG MSCA UURE NIUH

RKKD YHKM AMAI ABUA NEN! WEPS GLT!

“I see...” Ujar Chie, “Tetapi tetap saja ini semua hanyalah kumpulan huruf tanpa arti, Naoto-kun..”

“Memang belum sampai di sini...wujud asli dari pesan itu adalah bujur sangkar sempuna dan tentunya kita juga paham, sebuah bujur sangkar sempurna adalah keempat sisinya sama panjangnya kan...bukan persegi panjang...”

Mendengar penjelasan itu, mendadak Yukiko tersadar akan sesuatu ,” T-tunggu!! jadi untuk itu...untuk itukah perpangkatan 3 itu!!!”

Naoto mengangguk, “Tepat.....kita rangkai potongan-potongan ini sesuai dengan bujur sangkar yang sama setiap sisinya dan bacalah pesan itu dari atas kebawah...” Ia lalu mulai menggabungkan kata-kata itu dalam beberapa baris menjadi :

E A L D I U A R

N M U A H N H A

A A M R K T I G

M S C A U U R E

N I U H R K K D

Y H K M A M A I

A B U A N E N !

W E P S G L T !

“Setelah membaca pesan ini, tampak jelas...ini memang berasal dari pelaku.....coba kalian ingat kejadian Adachi dulu...” Ujar Naoto seraya menutup penanya dan kembali memasukkannya kembali ke dalam sakunya sementara orang-orang yang lain yang berada di sana tampak bungkam seribu bahasa, menjadikan suasana tempat itu begitu sunyi—sesuatu yang sangat bertentangan dengan dunia bawah dimana para siswa tampak menikmati waktu istirahat mereka dengan ramai.

“Berarti pembunuhan ini masih belum selesai?!...” Ujar Yosuke dengan suara pelan, “DAMMIT!!! A-apa ini berarti Ameno Sagiri atau Izanami adalah mereka yang melakukannya.”

Naoto menggelengkan kepalanya pelan, “Tidak mungkin.....jika mereka berdua adalah pelakunya, maka mudah, masukkan mereka ke TV dan semuanya selesai, tetapi lagipula Teddie sendiri tidak pernah memberitahu jika ada sesuatu yang terjadi di dunia TV-kan...ini jelas dilakukan oleh seorang pembunuh, kurasa seorang profesional...dan dia ini lebih pintar dari Adachi...membunuh tanpa waktu...”

“Hmm...Apa mungkin dia masuk lewat TV juga...seperti Adachi dulu??” Tanya Chie dengan cemas.

“Mungkin...karena itu, kita perlu bertemu dengan Teddie nanti...”

Semua orang mengangguk setuju,

“Kuharap dari sinilah, kita akan menemukan siapa pembunuh master..” Ujar Yosuke dengan mantap mengakhiri pembicaraan yang serba rahasia itu dan menunggu penanganan lebih lanjut. Naoto lalu menatap ke arah langit luas, mengambil segelas air mineral yang ada di sebelahnya saat sekumpulan burung gagak terbang melintasi kota.

“O-ya, Naoto-kun!?” Sebuah suara memanggilnya dari arah sebelah kirinya saat kedua pasang mata Naoto Shirogane melirik ke arah Rise Kujikawa yang tampak antusias

“Ada apa, Rise-chan?!”

“Dari mana sih, kamu bisa tahu kode kayak gitu? Rise jadi penasaran nih..” Ujarnya sambil menatap dalam-dalam ke arah mata sang detective Prince yang lantas membuatnya grogi dengan sangat. “R-Rise...berhenti melihatku seperti itu!!”

“Makannya kasih tahu dong!!” Rengek Rise.

Ia hanya terdiam, menatap ke arah awan kumulus yang berkejar-kejaran di langit untuk beberapa saat sebelum akhirnya mereka bergegas untuk turun menuju kelas masing-masing ketika waktu istirahat tersisa hingga 5 menit lagi ketika Naoto Shirogane beranjak dari tempat duduknya seraya berkata, “Kita berkumpul di depan TV Junes jam 2 siang nanti..”

Mereka semua lalu mengangguk setuju dan berjalan meninggalkan tempat itu..
Kembali Ke Atas Go down
separated-union




Male Jumlah posting : 15
Quote : In nothing we trust
Money : 28730
Registration date : 01.07.09

Persona-User Information
Name:
Persona:
Gender:

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 01, 2009 10:01 am

Lanjutan...
--------------------------------------------------------------------------------

Suasana di lantai 3 kelas itu begitu ramai meskipun waktu istirahat yang tersisa tinggal menyisakan waktu 5 menit lagi ketika Yukiko Amagi, Chie Satonaka dan Yosuke Hanamura berjalan menuju ke arah pintu kelasnya ketika kelompok anak-anak kelas 2 telah turun melalui tangga menuju ke lantai tempat mereka berada.

Tak ada yang berubah kecuali topik pembicaraan anak-anak di tempat itu yang berkisar tentang kematian Ai Ebihara sang manajer tim sepak bola Yasogami High School yang mengenaskan itu kemarin. Beberapa siswa yang lain membicarakan pertandingan basket di pojok koridor, beberapa lagi pacaran dan beberapa lagi hanya membicarakan hal-hal yang tidak berguna (bahkan beberapa orang bermain kartu secara sembunyi-sembunyi).

Langkah mereka lalu terhenti ketika Yukiko Amagi yang berjalan di depan mereka membuka pintu geser kelas mereka, kelas 3-1 yang ramai bersamaan ketika dari dalam, seseorang membuka pintu itu dengan cukup kencang, membuat tubuh Yukiko agak goyah saat secara tak sengaja tangan kanannya ikut tersentak mengikuti arah pintu membuatnya agak hilang keseimbangan.

“Yuki-chan!?” Seru Chie ketika dari balik pintu yang telah terbuka itu, seorang lelaki berjalan keluar tanpa menoleh ke arah di depannya sambil berucap pada orang di belakangnya.

“Yah, mungkin aku akan mempertimbangkan itu lagi nanti, Senpai.....titip salam buat Daisuke-senpai ya, aku turut berduka cita dengan berita itu...”

Dan kejadian berikutnya secara sukses membuat Yukiko Amagi benar-benar kehilangan keseimbangannya dan menjerit pelan ketika tubuhnya melayang sebentar di udara dalam hitungan sepersekian detik sebelum tubuhnya membentur lantai koridor yang ramai itu, membuat beberapa orang di tempat itu menatap ke arah mereka untuk sesaat dan setelah tahu tak ada yang terjadi, mereka kembali meneruskan kegiatannya.

Sementara itu, melihat teman baiknya itu terjatuh, kontan Chie naik pitam dan mulai mengoceh. “HEI!!! Apa kau sama sekali tidak punya mata hah!!!” pada pria itu,membuat pria itu agak kaget sementara pandangannya tertuju pada sosok gadis yang terjatuh di depannya.

“Lihat apa yang telah kau lakukan!!!!” Ujar Chie sambil menunjuk ke arah Yukiko yang terjatuh sementara Yosuke hanya bisa terdiam, sia-sia saja membujuk Chie dalam keadaan seperti sekarang.

“Ah, maafkan aku...” Pria itu lalu mengulurkan tangannya, membantu gadis berambut merah itu berdiri dengan perlahan, “Kamu luka?”

“Makannya jalan pakai mata!!!!” Teriak Chie sementara Yukiko yang sudah mendapati kembali keseimbangan tubuhnya kini telah kembali berdiri sambil menatap sahabatnya itu, “Sudahlah Chie-chan....aku nggak apa-apa kok...” Ia lalu kembali menatap ke arah pria yang ada dihadapannya itu ,”Maafkan aku...seharusnya aku lebih berhati-hati lagi...” Akan tetapi tak lama kemudian, lelaki itu mengamatinya dengan tatapan tidak percaya, “H-hei....kamu...Yukiko-senpai kan?”

Tatapan serupa juga tampak pada sosok Yukiko Amagi saat bola matanya yang bewarna hitam menatap ke arah wajah orang yang menjatuhkannya itu, “Eh...um...k-kamu, Vlad-kun kan!?”

Pria berambut hitam itu mengangguk, ia tersenyum, “Sudah lama ya....” Sementara itu Chie dan Yosuke hanya bisa terdiam menyaksikan itu dengan tatapan heran saat sahabat mereka berbicara cukup akrab dengan orang asing.

“A-aku sama sekali nggak nyangka kalau kamu bakal pindah kesini......gimana di sana? semua sehat??” Tanya Yukiko yang dibalas dengan anggukan pria di hadapannya itu, “Sudah lama nggak ketemu mereka ya....” Ia tersenyum kecil sebelum ia menatap wanita itu dengan sepasang matanya yang bewarna merah dengan ramah.

“Habis, Yukiko-senpai belakangan menghindari kami, sih....”

Mendengar hal itu, Yukiko hanya bisa tertunduk sambil berujar pelan, “Ah...eh...m-maaf.” ketika di hadapannya sebuah amplop diserahkan oleh pria itu, membuatnya tampak bingung dengan maksud penyerahan amplop itu.

“Kupikir aku harus mengembalikannya selagi sempat..”

Dibukanya amplop itu dan alangkah kagetnya ia ketika ia mendapati isi amplop itu adalah sejumlah uang sebesar 10.000 Yen membuatnya terkejut, lebih-lebih Chie dan Yosuke yang ada di belakangnya.

“Banyak sekali...” Ujar Chie sementara Yukiko menatap pria itu bertanya-tanya, “...A-apa ini?”

“Pinjamanku waktu itu, aku nggak tahu persis berapa jumlah totalnya, jadi ya kukira-kira saja...”

“Sa-sampai segitunya...kau tidak perlu sampai seperti ini, Vlad-kun!”

“Sudahlah terima saja! Kalau tidak sekarang, aku tidak tahu lagi harus menyerahkannya kapan....” Ujar Pria itu ketika bel sekolah itu berdering, tanda jika pelajaran akan segera dilanjutkan sementara mereka berempat masih berada di depan kelas.

“Ups...kayaknya istirahat sudah selesai...ya sudah aku kembali dulu ke kelas., senpai...”

“Kamu di kelas berapa??”

“Kelas 2-1.....” Ujarnya ketika ia berjalan meninggalkan Yukiko, Chie dan Yosuke menuju ke tangga untuk turun ke lantai dua, meninggalkan Yukiko yang hanya menatap punggung pria itu sembari memegang amplop itu sementara Chie Satonaka dan Yosuke Hanamura menatap dengan bingung.

“Er...Yuki-chan...”

Mendengar hal itu, Yukiko menoleh ke arah Chie yang ada di dekatnya, “Ada apa Chie-chan??”

“Well....kau kenal dengan anak baru itu??”

Yukiko mengangguk, “Dia itu salah satu anggota keluarga Souji-kun..”

Mendengar hal itu lantas membuat Yosuke terkejut, “M-maksudmu??? d-dia kan orang Rusia! bagaimana mungkin???”

“Dia itu saudara angkat Souji-kun...entah bagaimana bisa terjadi seperti itu, tapi itulah kenyataannya...Souji-kun mengenalkannya padaku waktu aku bersamanya di Tokyo dulu.....Souji-kun tidak pernah bercerita soal hal ini pada kalian ya?...” Ujar Yukiko seiring langkah mereka yang berjalan menuju ke bangku mereka yang kosong. “T-tapi aku sama sekali tidak menyangka jika ia akan pindah ke kota ini....” ujarnya saat pintu kelas itu kembali terbuka ketika sesosok guru berpakaian ala firaun berjalan masuk untuk memulai pelajarannya.


--------------------------------------------------------------------------------
Kembali Ke Atas Go down
separated-union




Male Jumlah posting : 15
Quote : In nothing we trust
Money : 28730
Registration date : 01.07.09

Persona-User Information
Name:
Persona:
Gender:

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 01, 2009 10:06 am

BAB 5 : The TV World

Pukul 15.00

Dengan masih mengenakan seragam sekolahnya, Naoto Shirogane terduduk seorang diri di sebuah meja kosong di sudut Junes Food Court menunggu para temannya untuk datang. Sudah sekitar lima belas menit ia duduk menunggu di tempat itu sendirian sementara suasana di tempat itu semakin ramai ketika didapatinya langkah kaki Yosuke Hanamura, Chie Satonaka, Yukiko Amagi, Kanji Tatsumi dan Rise Kujikawa berjalan semakin dekat dan menuju ke arahnya. Mereka setidaknya belum melupakan Special Headquarters mereka di sini. Pikir Naoto dalam hati ketika Yosuke menyapanya yang sedang duduk sendirian.

“Kuharap kami tidak membuatmu menunggu lama, Naoto....”

Naoto tidak menjawab kecuali menggeleng sambil tersenyum kecil. Terakhir kali pertemuan serupa diadakan sebelum kepergian Souji Seta sebelum melawan Izanami ketika mereka, tergabung dalam Investigation Team masih lengkap dan solid. Dengan almarhum sebagai ketuanya tentunya dan kini harapan dari Naoto hanyalah, semoga kelangsungan tim kali ini akan tetap terpelihara meski tanpa kehadiran sang ketua itu.

Kini semua orang telah duduk pada kursi yang mengelilingi meja food court yang bewarna coklat tua seuai dengan waktu yang telah ditentukan, yang mereka lakukan kini tinggal satu hal, menunggu orang yang dibutuhkan.

“Mana Teddie-kun???” Tanya Chie seraya menoleh ke arah kanan dan kirinya, “Dia harusnya ada di sini sekarang kan?”

“Sabarlah sebentar, dia sedang dalam perjalanan, Chie-senpai...” Ujar Naoto, “Aku baru saja menelponnya tadi....dia hari ini kerja-kan, Yosuke-senpai??”

Yosuke mengangguk, “Tunggulah sebentar...”


--------------------------------------------------------------------------------

Ruang 301 apartemen Grand Inaba. Yuuta Minami berdiri menatap ulangannya yang jelek di dalam kamarnya yang tenang. Ini adalah saat yang ditakutinya. Sang ibu, Eri Minami sedang menunggunya di kamar tengah untuk mendengarkan penjelasan dan ia sangat tidak ingin menghadapi kondisi ibu angkatnya seperti ini.

Dengan segan, Yuuta membawa serta kertas ulangannya itu, berjalan perlahan menuju ke pintu kamarnya yang bewarna putih yang berdiri menunggu dirinya untuk dibuka sambil berdiri kokoh menyatu dengan dinding bercat putih yang terbuat dari gipsum yang tipis.

Memang ini bukan kali pertamanya mengalami hal-hal seperti ini, akan tetapi menghadapi ibunya yang sesungguhnya adalah ibu angkatnya sungguhlah berat. Peluh mulai mengalir membasahi wajahnya di ruangan yang dingin berAC itu saat tangan anak berambut coklat tua itu menyentuh logam handle pintu kuningan yang dingin, membukanya membuat pintu itu terdorong ke dalam.

Siapapun, tolonglah aku..Pikirnya dalam hati. Ia rasakan detak jantungnya semakin berdebar keras, ia harus menghadapi kenyataan ini...apa yang terjadi terjadilah, terima kenyataan dengan jantan. Lanjutnya pada diri anak kecil itu dalam hati, lagipula kita sudah berkomitmen bukan.

Berbicara tentang sosok Eri Minami tidak seperti bayangan yang orang-orang sering dapatkan dari produk-produk gambaran televisi murahan yang menyajikan cerita dimana seorang ibu angkat adalah tipikal wanita kejam dalam cerita Cinderella yang selalu menyiksa anak angkatnya. Ia adalah seorang ibu muda yang sabar, pengertian dan penuh kasih. Ia bahkan menganggap Yuuta sebagai anaknya sendiri dan bersamanya mereka selalu setia menunggu kedatangan kembali Ayahnya yang sibuk bekerja di luar negeri karena ditugaskan oleh kantor tempatnya bekerja hingga jangka waktu yang relatif lama. Meski demikian, justru sifat penuh kasih sayangnya itu yang lantas membuat Yuuta takut. Eri Minami tidak pernah menunjukkan ekspresi marahnya pada sang anak meskipun dalam keadaan ia sedang marah sekalipun, yang terjadi malah lebih mengerikan...sang ibu akan membuatnya duduk di hadapannya hingga berjam-jam sambil menatapnya sembari menghela nafas panjang sekali-kali dilanjutkan dengan diam seribu bahasa dan mangurung diri di kamar. Terbalik, ya memang terbalik..di saat sang ibu yang membuat sang anak mengurung diri kamarnya, kini sang anak sendiri yang kadang kewalahan untuk meminta maaf pada ibunya yang mengurung diri di kamar. Sungguh terkadang ia berpikir bahwa lebih baik ia dimarahi habis-habisan sampai puas oleh sang ibu ketimbang harus menghadapi keadaan seperti itu.

Dibukanya pintu itu perlahan-lahan oleh tangan kecil bocah laki-laki itu, menampilkan ruang tengah yang cukup besar untuk sebuah apartemen, dilihatnya kaki sang ibu yang terduduk di atas kursinya yang membelakangi kamar dengan tenang tanpa bersuara saat suara-suara televisi masih terdengar di penjuru ruangan.

Kuatkanlah hatimu Yuuta, pikirnya dalam hati mencari penguatan ketika kaki-kakinya yang kecil melangkah perlahan dengan rasa bersalah yang amat sangat mendekati ibunya itu. Ia membuka mulutnya dan mulai memanggil ibunya dengan pelan, “Ibu...”

Ibunya diam tak menjawab.....

“Ibu.....” Panggil kembali anak itu dengan pelan, langkahnya semakin mendekati kursi wanita berambut pirang itu, Apa ibu benar-benar marah padaku? Tanyanya dalam hati.

“Ibu....aku minta maaf...aku nggak akan mengulangi hal ini lagi....” Tatapan matanya menatap ke arah lantai kamarnya yang terbuat dari kayu parkit yang terhampar di bawahnya sementara tangannya mulai mengguncangkan pundak ibunya yang tanpa perlawanan dan pada saat itulah bocah itu merasakan ada cairan lengket yang hangat di jari-jari tangannya yang kecil. Cairan itu ada pada pundak wanita itu—yang berasal dari rambutnya. Rasanya asin, tapi apa itu??

Dengan cemas, ia mengguncangkan tubuh Eri sekali lagi—kali ini lebih keras akan tetapi tetap saja tidak ada balasan kecuali tubuhnya yang jatuh tanpa beban ke arah bawah sesuai dengan hukum gravitasi membentur lantai parkit itu dengan sepenuh hati membuatnya tergeletak tak berdaya di lantai. Di bagian kepalanya, sebuah lubang bekas peluru di pelipis wanita itu mengalirkan darah ke sebagian tubuh Eri (dan kini juga mengalir ke lantai).

Yuuta yang menyaksikan itu hanya bisa menatap semua itu dengan ketakutan, dengan seketika itu juga tangisnya pecah ketika ia bergegas menghampiri tubuh ibunya itu mencoba menyadarkan ibunya yang adalah sia-sia belaka tanpa sadar dibelakangnya, sebuah tangan dengan senjata berperedam tertuju ke arah kepalanya dan saat laras senjata itu mengeluarkan kilatan cahaya dan saat itulah...semua yang ada di hadapan anak itu menjadi gelap ketika sang pembunuh berjalan keluar dari ruangan itu sambil meletakkan sebuah kartu tarot di meja dapur sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan kamar itu dalam keheningan saat sang bocah tertidur selama-lamanya di atas tubuh ibunya.


--------------------------------------------------------------------------------

“Siang semuanya!!! Maaf, Teddie telat-nee..” Ujar Teddie dengan suaranya yang cempreng dan bernada manja khas kostum beruang itu saat ia datang dengan tenang tanpa beban di hadapan teman-temannya yang telah menunggu di Food Court di tengah sinar matahari yang cerah setelah beberapa saat menyembunyikan diri di dalam gulungan awan kumulus yang lebat di langit luas.

“Duduklah di sini, Teddie..” Ujar Yosuke seraya menunjuk ke arah sebuah bangku kosong di tengah meja, tanpa banyak bicara lagi Teddie lalu menuruti kemauan dari orang yang pernah menampungnya dulu. “Ada yang mau kami bicarakan denganmu...”

“Huh??”

“Ini soal TV World......” Ujar Naoto Shirogane dari balik topinya dengan tenang, “Kami minta bantuanmu....”


--------------------------------------------------------------------------------

Sang pembunuh berjalan dengan tenangnya menuruni tangga belakang apartemen yang tidak dikunci pintunya saat kedua matanya melirik kesekitarnya dengan waspada, mencurigai apapun yang dianggap mencurigakan saat ia melakukan kebiasaannya sementara kedua kakinya yang telah terlatih berjalan menuruni tangga dengan cepat tanpa menimbulkan suara-suara yang menarik perhatian ketika tinta hitamnya kembali mencoret sebuah nama pada catatan kecilnya

Eri Minami



--------------------------------------------------------------------------------

TV World

Pukul 15.15

Suasana di dunia TV itu sama sekali tidak berubah semenjak terakhir kali mereka melihat wujud asli dari dunia yang dulunya dikenal dengan nama yang terkesan misterius, Midnight Channel. Berbeda dengan suasana di dunia luar, dunia nyata dimana manusia seharusnya hidup, semenjak kabut tebal yang menyelimuti tempat ini hilang. Dunia ini selalu saja menunjukkan kesan yang ramah dan menyambut siapa saja dengan tangan terbuka saat bunga-bunga bermekaran di segala sisi dan air danau yang jernih bergoyang tenang dihembus oleh angin sepoi-sepoi yang bebas polusi sementara cahaya di tempat itu terasa nyaman, hangat..mewakili perasaan damai setiap manusia yang terkandung di dalamnya saat kedua mata Naoto dan anggota Investigation Team yang lain memandang ke sekitarnya.

“Tempat ini sama sekali tidak berubah sejak saat itu…” Ujar Chie Satonaka dengan tatapan yang kagum, sebuah tatapan yang sama ketika ia menyaksikan dunia ini pertama kalinya. “Kuharap aku punya pekarangan rumah seperti ini..”

“Rumah Teddie bagus-kan!!!!” Ujar Teddie kegirangan sementara Rise Kujikawa mendekati sebuah bunga mawar yang tergabung dalam sebuah kumpulan bersama dengan bunga-bunga lain di padang bunga itu ketika Yosuke dan Kanji hanya bisa terbengong-bengong mengamati itu semua dengan takjub (bahkan lebih tepat jika dikatakan sebagai melamun…apa yang dilamunkan, silahkan tebak sendiri) ketika Naoto Shirogane mengamati sekelilingnya, mungkin mencari beberapa petunjuk yang bisa membantu saat Teddie kembali mengamati sekitarnya dan seakan sadar dengan apa yang tidak biasa, ia lalu bertanya.

“O ya…Fox mana?? Tumben biasanya ia bersama kalian terus..?”

Mendengar itu, Naoto tidak menjawab kecuali mengamati keadaan di sekitarnya sementara Rise menoleh kea rah bonek beruang itu dan berkata, “Iya-ya…Sejak tadi pagi Rise memang nggak liat rubah itu di kuil tadi…..mungkin dia lagi sibuk..” Ujarnya ketika pandangan matanya tertuju ke arah Kanji, “Kanji-kun…”

Kanji hanya diam tak menjawab, sama seperti Yosuke yang ada di sebelahnya kecuali berdiri bagaikan patung David karya Michaelangelo—hanya saja dengan busana tentunya dengan tatapan kosong, raganya memang ada di sini, tetapi pikirannya entah….terbang entah kemana…mungkin ia bermimpi sedang beromansa di tempat ini bersama dengan seseorang.

“Kenapa dengan Kanji-nee??” Tanya Teddie dengan heran, ia memandang ke arah pria berambut putih itu dengan tatapan tidak mengerti (dan bukan untuk pertama kalinya) sementara Rise dengan wajah yang agak kesal, mengambil sebuah batu dan melemparkannya ke arah salah satu murid yang paling banyak ulah dan berada di deretan teratas daftar blacklist guru-guru pada rezim King Moron (a.k.a Kinshiro Morooka) dulu, sebelum Kashiwagi masuk dan mempengaruhi opini public guru-guru terhadap Rise dan kini Naoto Shirogane yang secara telak mengalahkannya dalam Miss Yasogami dulu.

“KANJI-KUN!!!!!!” Teriak Rise membuat Kanji dan Yosuke tersadar dari lamunannya, yang dalam hal ini terlebih lagi Kanji saat sebuah batu yang cukup besar menimpa kakinya membuatnya berteriak keras seperti seekor binatang buas yang terkena panah pemburu.

“ARGH!!! Apa yang kau lakukan!!!”

“MAkannya jangan ngelamun terus!!! Kau juga sama Yosuke-senpai!!!!” Teriak Rise yang tak pelak kemudian mengundang sedikit keributan kecil sementara Naoto Shirogane mendekati Teddie yang hanya bisa terdiam melihat keributan kecil di tempat yang sedianya adalah tenang dan damai.

“Teddie..”

“Ada apa Naoto?” Tanyanya dengan nada ramah (dan dia memang selalu ramah) pada lawan bicaranya, “Apa ada yang bisa Teddie bantu-nee??”

“Apa belakangan ini kau pernah merasakan ada orang yang berkeliaran selain kami???”

Teddie menggeleng, “Nggak ada, nggak ada kok orang lain yang datang kemari selain kalian ini pertama kalinya malah ada orang yang datang kemari sejak Izanami hilang dulu..” boneka beruang berkepala biru itu terdiam sejenak, “Kalaupun ada, itupun cuma sensei dulu…”

“I see….Tapi sungguh kamu nggak ada lihat ataupun merasakan ada orang lain yang datang ke tempat ini??”

“Nggak, aku nggak ada lihat siapa-siapa, Naoto…kamu nggak percaya sama Teddie ya…jahat…” Suaranya terdengar pelan sementara matanya tertunduk ke bawah, “Naoto jahat!!!”

“Wha…M-maaf, aku nggak bermaksud untuk…”

“Padahal Teddie udah jujur….kapan Teddie bohong sama kalian….” Ujarnya dengan nada yang lirih..

Mendengar ucapan itu, Naoto hanya bisa menarik nafas, ia lalu merogoh saku seragamnya dan memperlihatkan sesuatu pada sosok beruang itu, “Aku tahu itu, Teddie…tapi ini semua karena ini..” Ujarnya seraya menunjukkan sebuah kartu tarot bewarna dominan biru pada beruang itu. Membuat wajah beruang itu terkejut saat kartu itu berada di depannya, “Coba Teddie lihat!?”

“Ini..” ujar Naoto seraya menyerahkan selembar kartu itu pada Teddie, “Tapi hati-hati…ini adalah barang bukti yang masih mungkin akan digunakan oleh polisi…”

“Yep, tenang saja…” Teddie lalu memperhatikan kartu itu dengan seksama ketika Yukiko Amagi datang mendekati mereka, “Gimana? Ada yang bisa kita dapat??”

Naoto menggeleng, “Kami sekarang sedang membahasnya senpai” sementara di belakang mereka yang berjarak beberapa meter, terdengar teriakan Chie yang membahana mengalahkan suara-suara keributan di sekitarnya yang lantas membuat Rise, Kanji dan Yosuke terdiam.

“Sa-sabar Chie…aku bisa jelaska-“ akan tetapi sebuah tendangan di perut telah bersarang di perut anak manajer Junes itu tanpa sempat ia menyelesaikan ucapannya.

“Aku bilang diam…” Ujar gadis tomboy berambut bob itu seraya melihat kea rah sekitarnya, lebih tepatnya melihat ke arah sang calon Yakuza dan ke arah sang idola, “Sebenarnya apa yang kalian ributkan??”

“Aku cuma mau tanya aja, kemana Fox, Chie-senpai….” Ujar Rise lemah.

“Fox?” Tanya Chie yang agak bingung dengan keadaan di sekelilingnya ini saat angin sepoi kembali berhembus membelai rambut gadis berambut pendek itu dengan pelan.

“Ya…apa kau ada melihatnya di sekitar Tatsuhime Shrine pagi tadi, senpai??”

Chie menggeleng, “Tidak, aku tidak melihatnya, Yosuke..” Ia memanggil Yosuke tetapi tidak ada jawaban dan kedua matanya yang melirik ke arah pria berambut pirang itu tahu kenapa penyebabnya saat ia melihat pemuda itu berguling-guling kesakitan. Apa aku memukulnya terlalu keras tadi? Tanyanya dalam hati. Ia lalu berjalan menghampiri teman sekelasnya itu,

“Kau tidak apa-apa Yosuke??” Tanyanya, akan tetapi jawabannya hanya berupa erangan kesakitan sementara kedua tangannya memegangi perutnya yang akhirnya memaksa Chie untuk mengakui apa yang sebenarnya terjadi. Benar, ia memukulnya terlalu keras tadi.

“M-maaf Yosuke….aku….”

“ARGH!!!!!” Tidak ada respon lanjutan selain erangan kesakitan, membuat Chie terdiam dan menoleh ke arah Kanji Tatsumi, “Bagaimana denganmu, Kanji??”

Kanji hanya menggeleng, “Sejak tadi pagi aku memang tidak melihatnya, mungkin dia lagi sibuk ngurus anak-anaknya…dia punya anak-kan??”
Kembali Ke Atas Go down
separated-union




Male Jumlah posting : 15
Quote : In nothing we trust
Money : 28730
Registration date : 01.07.09

Persona-User Information
Name:
Persona:
Gender:

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 01, 2009 10:06 am

Lanjutan...
--------------------------------------------------------------------------------

Pukul 15.20

“Teddie merasa kartu ini aneh….” Ujar Teddie seraya mengembalikan kartu tarot itu kepada Naoto Shirogane yang ada di hadapannya dengan hati-hati, “Bentuknya sama dengan kartu-kartu yang terkadang kita temui di sini dulu…”

“Huh? Apa maksudmu, Teddie??” Tanya Naoto Shirogane dengan tatapan agak kaget. Kartu yang terkadang kita temui, tapi kapan?

“Kau ingat dulu-kan, kadang sensei mendapatkan sebuah kartu setelah mengalahkan shadow di sini…”

“Maksudmu, persona??”

“Bukan….” Kata Teddie, “Bukan itu, tetapi kartu yang lebih sifatnya seperti judi..um, gimana njelasinnya ya…”

“Tunggu….maksudmu, kartu yang terkadang membuat kita jadi merasa lebih kuat atau lebih lemah itu???” ujar Yukiko yang ada di dekat mereka menimpali, membuat dua orang itu melirik ke arahnya yang kontan membuat pipi gadis bercardigan merah itu merona merah karena malu.

“K-kenapa kalian?? A-apa aku mengucapkan hal yang salah???”

“Itu dia!!!” Seru Teddie, “Itu dia yang Teddie maksud!!! Kau tahu itu Naoto??”

Naoto terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk, “Ya….kartu-kartu itu……”

“Dari mana kamu dapatkan kartu ini, Naoto??”

“Sudah kukatakan, ini barang yang kutemukan di lokasi pembunuhan baru-baru ini…hanya saja barang ini masih belum bisa dijadikan bukti…...” Naoto terdiam sejenak sambil menatap ke arah mata besar boneka itu. “Dan sepertinya terkait dengan Souji-senpai…”

“A-apa!!!”

“Makannya, Teddie-kun…kami minta bantuanmu…selain itu apa ada hal lain yang kamu tahu??” Tanya Yukiko Amagi

“Tidak….Cuma itu yang Teddie tahu,” kedua mata Naoto Shirogane tertuju kearah danau yang tenang di depannya mengamati ikan-ikan kecil yang berlarian ke sana kemari di balik jernihnya air.

“Jadi kau tidak melihat siapapun masuk ke dunia ini selain kamu?” Tanya Naoto, membuat Teddie kembali menggeleng. Dan semua ini membuatnya pusing. Berarti pelaku tidak masuk lewat dunia ini…lantas apa? Kebetulankah? Dan Naoto sangat tidak mempercayai hal yang bernama kebetulan. Apa dan bagaimana lalu siapa dan ia berpikir tentang itu. Hal itu lantas membuatnya memutuskan untuk duduk sejenak di tepi danau itu, berpikir untuk beberapa saat hingga tak lama kemudian menemukan suatu ide.


--------------------------------------------------------------------------------

Kepolisian Inaba

Pukul 15.30


Jari-jari tangan Ryoutarou Doujima sibuk menekan tuts keyboard komputer yang ada di hadapannya. Gambar-gambar di monitor yang ada di hadapannya silih berganti bersamaan dengan itu, tetapi pria itu tidak menyimak. Matanya justru berulang kali melirik jam dinding yang tergantung di ujung ruangan. Jam itu menunjuk pada pukul 13.30.

Ryoutarou menghela nafas, menggigit bibir, meremas tangan dan pada akhirnya menghela nafas lagi. Sudah berjam-jam yang lalu dan bahkan sudah satu hari berlalu sejak kejadian pembunuhan itu tetapi sama seperti pembunuhan keponakannya dan 4 orang yang lain, hasilnya nihil tanpa petunjuk berarti. Apakah kepolisian sudah sedemikian tidak bergunanya sekarang? Dipandanginya sekali lagi monitor komputer yang ada di hadapannya, ia mendesah, seharusnya Naoto Shirogane sudah datang sekarang. Apa seharusnya ia tadi menjemput Nanako sebentar dan membawanya ikut ke kantor polisi ini, tidak ada jaminan jika dia bukan target dan sialnya saat meninggalkan rumah tadi pagi, Ia tidak berkata apa-apa pada anaknya itu. Ia hanya bisa berharap anak itu akan baik-baik saja.

Diliriknya foto TKP yang ia dapatkan itu dan entah kenapa ia merasa pernah melihat pria itu. Tapi masalahnya adalah kapan dan dimana.

“Doujima-san!”

Panggilan itu membuatnya terperanjat, pria berambut coklat tua itu mengalihkan perhatiannya dengan segera. Ia mendapati seorang bawahannya berdiri tidak jauh dari meja kerjanya. “Ada apa?” tanyanya.

“Mana Naoto-kun? Tumben ia belum datang?”

“Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu...mungkin ia ada urusan sebentar...” Ujarnya, “O-ya, apa sudah ada bukti baru??”

“Tidak ada pak!” Jawabnya ketika telepon di kantornya itu berdering keras.


--------------------------------------------------------------------------------

TV World

Sosok Kanzeon melihat ke sana kemari ketika Rise Kujikawa mengamati sekitarnya dengan sebuah radar khusus yang terpasang pada matanya sementara Naoto Shirogane, Yukiko Amagi, Yosuke Hanamura, Kanji Tatsumi, Chie Satonaka serta Teddie berkumpul di sekelilingnya menunggu sebuah hasil, hasil yang memuaskan tentunya.

“Bagaimana, Rise? Apa kau ada melihat sesuatu yang mencurigakan di sini??” Tanya Naoto.

“Entahlah, sejauh yang Rise lihat itu nggak ada sesuatu yang aneh...” Ujar gadis berambut merah muda itu sambil sibuk mengamati sekitarnya.

“Apa kau tidak melihat ada benda atau apa yang asing disini atau sejenisnya??” Tanya Yosuke Hanamura.

“Sayangnya nggak...” Dan saat itu, Persona yang dimilikinya berhenti beroperasi bersamaan dengan dilepaskannya radar yang digunakan Rise dari matanya, menandakan telah selesai seiring hilangnya sosok Kanzeon dari pandangan. “Nggak ada yang bisa ditemukan...”

Lagi-lagi tidak ada petunjuk. Keluh Naoto dalam hati. Sepertinya pembunuh tidak masuk melalui dunia ini...atau...jangan-jangan...Naoto lalu melirik ke arah Teddie sejenak tanpa berbicara, dengan tenang tanpa disadari boneka hidup itu (yang entah kenapa kadang menggemaskan) dan menarik nafas panjang. Tapi, mana mungkin, kau pasti terlalu banyak berpikir Naoto...Mana mungkin dia bisa melakukan itu...Mulai lagi dari awal.

Ia lalu melihat ke kembali ke arah sebuah pohon di tepi danau yang terletak cukup jauh di depannya dan membetulkan posisi topinya saat Chie Satonaka bertanya padanya sambil bertolak pinggang yang membuatnya selalu tampak menantang.

“Bagaimana Naoto-kun?”

“Cukup untuk hari ini..” Ujarnya pelan, “Ayo kita pulang...”


--------------------------------------------------------------------------------

Junes Departement Store

Pukul 15.45


“Everyday is at your Junes,”

Musik yang tampak seperti sebuah lagu kebangsaan di Junes Departement Store itu terus mengalun melalui speaker-speaker yang terpasang di langit-langit Junes Departement Store bagian elektronik yang bewarna putih ketika Naoto Shirogane dan kawan-kawan baiknya berkumpul di depan sebuah TV LCD berukuran raksasa (mungkin 52” lebih) yang layarnya hanya menampilkan satu warna, hitam yang tak bersuara. Tempat itu adalah tempat yang cukup ramai, para pengunjung berjalan-jalan menyusuri setiap blok berisi rak-rak yang memajang banyak macam benda-benda elektronik di atasnya, mencari benda yang dibutuhkannya sementara Kanji Tatsumi hanya menghela nafas panjang sambil berkata,

“Sepertinya si pembunuh tidak menggunakan TV World sebagai media untuk melakukan pembunuhan...”

“Ya...” Ujar Naoto dengan suara pelan, “Tapi, aku minta tolong padamu Teddie.”

“Apa itu Naoto-kun??” Tanya boneka beruang berpakaian jumpsuit itu dengan polos.

“Tolong awasi segala hal yang terjadi di TV World selagi kami menyelidiki kasus ini di dunia luar,” kata Naoto, “Tidak ada jaminan jika dia memang tidak memakainya...aku punya dugaan kuat jika pelaku mengetahui sesuatu tentang ini semua...”

“Ya!! Serahkan saja pada Teddie-nee!” Ujarnya dengan penuh semangat ketika tak lama kemudian HP milik Naoto Shirogane berbunyi membuat sang Detective Prince merogoh saku celananya, panggilan itu berasal dari Ryoutarou Doujima. Ia lalu menekan tombol answer dari HPnya itu. “Ya, Shirogane di sini...”

Dan tak lama kemudian ekspresi wajah Naoto Shirogane berubah, “Ya...ya, aku tahu..aku akan segera ke sana..” Ia lalu menutup sambungan telepon, “Sial!!” Ujarnya kesal, tangan kirinya menggenggam telepon selulernya itu seakan hendak meremasnya hingga hancur membuat teman-temannya yang berkumpul di sekitarnya bertanya padanya.

“Ada apa Naoto-kun?” Tanya Chie Satonaka dengan cemas, sungguh jarang dan mungkin untuk pertama kalinya ia melihat Naoto Shirogane tampak seperti ini, “Apa ada sesuatu yang terjadi?”

Naoto hanya terdiam sejenak seraya memasukkan HP-nya kembali ke dalam saku celananya, “Sepertinya aku harus pergi sekarang....kita bicarakan ini lagi besok..” Ujar Naoto seraya hendak beranjak pergi dari tempat itu, “Pembunuh itu telah membuktikan ancamannya...”



--------------------------------------------------------------------------------
Kembali Ke Atas Go down
separated-union




Male Jumlah posting : 15
Quote : In nothing we trust
Money : 28730
Registration date : 01.07.09

Persona-User Information
Name:
Persona:
Gender:

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 01, 2009 10:16 am

BAB 6 : The Old Man

Central Shopping District

Pukul 15.50


Seorang pemuda berjalan melintasi jalanan Central Shopping District sambil melirik ke arah gedung apartemen yang menjulang tinggi di belakangnya, mengabaikan kehadiran manusia-manusia yang berlalu lalang di sekitarnya dan beberapa mobil serta motor yang melakukan hal yang sama baik yang bergerak maupun yang terparkir dengan rapi di tepi jalan yang besarnya mencapai dua ruas..tidak besar memang, tetapi tidak pernah menimbulkan kemacetan yang umum terjadi di kota-kota besar.

Kalau tidak salah di sekitar sini. Ujarnya dalam hati sewaktu ia mengalihkan pandangannya ke barisan toko-toko yang berbaris rapi (meski banyak yang bubar) di sepanjang jalan yang dilaluinya hingga ia berhenti di sebuah pintu biru yang besar yang tertempel bagaikan kaca hias di sebuah toko barang antik terpajang di depan sebuah toko senjata yang ada di dekatnya.

Diamatinya pintu itu dan reaksi orang sekitar di sekelilingnya, mereka seakan tidak pernah atau bahkan tahu ada benda seaneh ini di dekat mereka.

Pasti pintu ini. Pikirnya dalam hati saat ia mengeluarkan secarik kertas kecil dari saku jaketnya dan menunjukkannya ke depan pintu yang tertutup rapat. Ia menunggu sejenak hingga tak lama kemudian pintu itu berderak dan sedikit terbuka menampilkan secercah sinar biru yang semakin lama semakin kuat seiring langkah kedua kakinya yang berjalan memasuki pintu itu ketika di dalamnya dua orang telah menunggunya dengan tenang di dalam.

Suasana di dalam ruangan dibalik pintu itu sangatlah berbeda dengan diluar. Bagaikan ruangan peramal, setidaknya itulah perasaan yang mungkin dirasakan oleh semua orang kiranya saat menyaksikan ruangan itu. Dengan aroma alkohol yang kuat ditambah sebuah sofa empuk bergaya klasik berbentuk huruf U dan sebuah meja kecil di tengah, membuatnya tampak seperti ruangan ini juga tampak seperti sebuah bar kecil yang berjalan di tengah-tengah awan putih di tengah langit-langit gelap bercahaya di luarnya.

Pemuda itu dengan tenang mengamati sekitarnya terlebih-lebih saat kedua matanya yang bewarna merah menatap ke arah seorang kakek-kakek bongkok berhidung panjang di hadapannya dan seorang wanita dewasa yang tampak anggun dalam pakaian serba biru yang tampak serasi, membuatnya tampak misterius lebih-lebih musik yang mengalun ke seluruh penjuru ruangan yang berbau supranatural.

“Что? Соглашение должно быть время 15:30 часов назад ...- Ada apa? Waktu perjanjian mestinya jam 15.30..” Ujar kakek berhidung panjang itu dengan nada yang penuh kecurigaan, mencari-cari sebab ataupun alasan keterlambatan tamunya itu sembari meminum segelas martini yang ada di atas meja bundar yang kecil di hadapannya.

“Banyak hal yang harus dikerjakan....kau tahu, perburuan masih belum selesai...” Ujar pemuda itu dengan tenang ketika kata-kata itu terucap dari mulutnya secara rileks.

“Tapi tidak ada masalah-kan? Kau tidak sedang diikuti, bukan?” tanya kakek berhidung panjang itu, bola matanya yang besar masih mengamati pemuda yang menjadi tamunya kali ini dengan begitu waspada, ya kewaspadaan yang bisa membuatnya bertahan sampai sekarang.

Melihat hal itu, sang pemuda hanya tersenyum dingin, ia menghela nafas sementara kedua matanya yang bewarna merah mengamati dua orang yang ada di hadapannya itu dengan tatapan yang beku, seakan setiap saat apapun bisa terjadi di ruangan itu sebelum akhirnya menjawab, “Tidak, ketakutanmu sungguh tidak beralasan pak tua..” ia terdiam sejenak, “Dan bisakah kau singkirkan Berreta Tomcat yang kau sembunyikan di bawah meja itu ke sarungnya,” ia berjalan mendekat, “Kau tidak ingin transaksi batal karena klienmu kecewa, bukan...atau kau mau membunuh tamumu?”
Kakek itu lalu tersenyum kecil, ia menuruti perkataan tamunya itu, “Sudah kuduga, pasti ketahuan....bagian dari pertahanan diri, splendid...”

“Lalu bagaimana dengan pesananku?” pemuda itu berkata, “Sudah ada kan?”

Kakek tua itu mengangguk, ia lalu melirik ke arah asistennya—seorang wanita dewasa yang tampak anggun dan misterius berambut pirang, bukan orang yang bisa diremehkan seperti Hera dalam mitologi Yunani, sosok yang sensual namun juga mematikan jika ka menghadapinya secara salah—Femme Fatale.

“Ambilkan barangnya....”

Wanita itu mengangguk, diletakkannya papan berisi laporannya itu dan beranjak dari duduknya, berjalan perlahan dengan keanggunan seorang aristoktrat menuju ke sebuah lemari kecil di bawah tumpukan minuman keras di atasnya tanpa banyak bicara apalagi bertanya.

“Duduklah dulu selagi menunggu...” Undang kakek itu pada tamunya, menawarkan kursi sofa kosong di sebelahnya untuk diduduki. Pemuda itu mengangguk setuju dan memutuskan untuk duduk dengan santai di ruangan yang beraura magis itu sementara sang kakek tua itu bertindak selaku tuan rumah yang baik dengan menuangkan martini (ya, sebuah martini untuk seorang pemuda berusia belasan tahun) ke dalam sebuah gelas yang masih kosong di sebelah gelasnya yang tinggal setengah dan menyodorkannya kepada tamunya itu, “Minum?”

“Sepertinya kebiasaan minummu masih belum hilang juga, Igor...” Ujar pemuda itu sambil mengambil gelas minumannya, diamatinya genangan martini yang ada di gelasnya itu, “Martini? kukira kau senang dengan Vodka...” Ia lalu meminumnya, “Tapi ini bukan martini terakhir untukku, bukan..” ujarnya sambil tertawa kecil, “Seperti asistenmu itu...”

“Dia bukanlah martini...tetapi Margarita...” Ujar kakek yang bernama Igor itu, “Dan kalau kuberi kau margarita, barulah itu minumanmu yang terakhir...” Ia lalu mengeluarkan cerutunya, “Lagipula harga Vodka semakin tinggi sekarang, kau tahu...pemerintah Rusia sudah melarang ekspor benda hebat itu, karena tahu produk mereka adalah yang terbaik..” Ujarnya sambil tertawa kecil sembari membakar cerutu Havana-nya itu dan menghisapnya sebelum kembali berkata, kali ini dengan nada pelan, “Ngomong-ngomong kau sudah temukan yang kita cari?”

“Kepastiannya belum....tapi masih kuusahakan,” Ujar pemuda itu sembari meletakkan gelasnya di atas meja berpermukaan putih bersih itu, “Tetapi, dia pasti akan menampakkan dirinya...8 nyawa sudah melayang, lagipula kau tentunya ingat ramalanmu dulu..” Ia lalu mendekatkan kepalanya ke arah Igor, “Manusia yang terunggul akan menatap ke bawah dari puncak gunung tertinggi dalam kesendirian—menjadi dewa”

Mendengar hal itu, Igor hanya terdiam, ia mengangguk, “Ya....semuanya lebih cepat dari yang kita duga...memudahkan pekerjaanmu memang...” Pandangan matanya lalu tertuju ke arah asistennya itu. “Bagaimana menurutmu soal asistenku itu?” Ujarnya dengan suara pelan.

“Ingin bersenang-senang dengannya hari ini?”

Pria itu hanya menghela nafas panjang sambil menatap ke arah lawan bicaranya itu, “Kau tahu Igor, sifatmu yang seperti inilah yang kadang membuatku ingin muntah....kau apakan asistenmu yang lama?”
“Ia mengundurkan diri, ini adiknya...” Kata Igor, “Kalau saja aku bisa mencegah tamu berambut biru itu dulu...” ujarnya lesu, “Aku kehilangan asisten yang cekatan...”

“Dan inilah yang harus kau bayar...jika kau tidak memanggil The Fool kemarin, semua ini tidak akan lengkap...” ujar pemuda itu, “Kau harus bersyukur karena kematiannya-lah semua jadi jelas, ia datang kemari mencari penyelesaian..” Ia lalu meletakkan tasnya yang bewarna hitam yang dibawanya ke atas meja kecil itu, “Perburuan belum selesai dan masih banyak yang harus dilakukan…”
Selang tak lama kemudian, sang asisten telah kembali ke tempatnya semula sambil membawa sebuah alkitab yang dihardcover hitam dengan lambang salib di atasnya, pada bagian tepinya yang bewarna putih terdapat sebuah segel, sebuah segel yang membuatnya senantiasa tertutup. Dengan perlahan ia lalu meletakkan buku itu di atas meja.

“Setidaknya kau tidak keberatan-kan karena kami masih memakai model lama...” Ujar Igor seraya menujukkan barang itu pada tamunya yang mengundang tawa misterius dari sang pemuda berambut hitam dan bermata merah itu untuk sesaat sebelum kembali terdiam dan berkata dengan tenang, “Untuk apa aku keberatan? Siapa yang akan mencurigai benda dengan kemasan seperti ini....lebih aman dan terjamin..” Ia lalu membuka segelnya dan membuka lembar pertama alkitab itu. Tampak seperti buku biasa.

Ia lalu membuka bagian tengah buku itu, sebuah kotakan besar muncul dengan lapisan peredam suara di sekeliling kotak kecil itu, dimana banyak peluru berjejer rapi di dalamnya. Pemuda itu lalu mengambil sebutir peluru itu dan mengamatinya.

FMJ (Full Metal Jacket) pikirnya, ia lalu mengamati peluru .45 ACP itu secara seksama.

“Bagaimana?” Tanya Igor pada pemuda itu.

“Lebih berat..kau tambahkan apa pada peluru ini?”

“Barang baru...atau kau lebih memilih dum-dum?”

“Dum-dum!?” Pemuda itu tertawa, “Kau ingin aku melanggar Konvensi Jenewa?” Ia lalu menggeleng, “Tidak, semua ini akan memecahkan pola yang ada...aku boleh seorang pembunuh, tetapi aku bukan seorang penyiksa..” Ia lalu mengeluarkan sepucuk pistol berperedam dari dalam tasnya, “Barang baru ini..” Ia mengeluarkan magasin senjata yang telah kosong dan memasukkan satu peluru ke dalamnya. “Seberapa besar daya hantamnya??”
“Lebih dari yang dulu.....” Ujar Igor.

“Hmm...” Pemuda itu lalu memasukkan magasin berisi peluru itu ke dalam pistolnya dan mengokangnya, “Ayo kita lihat, sehebat apa kemampuannya...” Pemuda itu memancarkan senyum jahat saat kedua mata Igor terbelalak ketika melihat pistol pemuda itu diarahkan ke arah dahi asistennya, Margaret.

“Mungkin kau harus mencari asisten lain, Igor...”

“K-Kau!!” Ujar Igor dengan geram, “Kau sadar dengan apa yang kau lakukan!!”

“Ya, aku sadar dan tahu...” Kedua matanya bersinar, “Selamat tinggal nona...” tatapan kedua matanya menatap dalam ke arah mata Margaret. Melihat keadaan semakin tidak terkendali, Igor lalu dengan sigap mengambil pistol baretta Tomcatnya dari sarung yang tersembunyi dari jasnya dan membidikkannya ke arah pemuda itu, tetapi telat, pemuda itu mengarahkan tangan kirinya, membuat sepucuk pistol berperedam lain yang tersembunyi melesat keluar dari lengan jasnya sementara pistol di tangan kanannya telah meletus mengeluarkan cahaya.
Kembali Ke Atas Go down
separated-union




Male Jumlah posting : 15
Quote : In nothing we trust
Money : 28730
Registration date : 01.07.09

Persona-User Information
Name:
Persona:
Gender:

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 01, 2009 10:17 am

Lanjutan...
--------------------------------------------------------------------------------

Apartemen Grand Inaba

Pukul 16.00

Ryoutarou Doujima telah berada di kamar 301 apartemen Grand Inaba untuk melakukan pengecekan TKP bersama dengan para petugas kepolisian Inaba yang lain yang turut membantu ketika Naoto Shirogane sang Detective Prince datang ke lokasi,

“Maaf, aku terlambat..” Ujarnya, “Ada urusan sebentar di sekolah..”

Mendengar hal itu, Ryoutarou bernafas lega, “Kukira terjadi sesuatu padamu…”

Naoto tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia hanya tersenyum kecut. Tanyanya, “Apa yang terjadi di sini?”

Ryoutarou hanya menggeleng, “Lebih baik kau lihat sendiri..” Ia lalu mengajak anak sekolah itu untuk berjalan memasuki kamar 301 yang kini sedang dipenuhi oleh tim forensik kepolisan yang sibuk mengumpulkan barang bukti di kamar itu.


--------------------------------------------------------------------------------

Central Shopping District,

Untuk pertama kalinya dalam hidup, sang asisten—Margaret belum pernah merasakan hal semengerikan ini dalam hidupnya. Kenapa majikanku bias-bisanya mengenal orang ini? Tanyanya dalam hati. Wajahnya yang putih tampak semakin pucat saat kedua matanya memandang kearah ujung laras pistol yang masih mengeluarkan asap dengan bau mesiu yang santer lebih-lebih saat peluru itu melesat melewati wajahnya, membuat sedikit luka gores pada pipinya beberapa saat sebelum peluru itu menghantam sofa di belakangnya.

Igor tampak ketakutan dan panik sementara pemuda itu, tampak tenang dan tersenyum ketika kedua matanya tampak membara bagaikan sepasang mata iblis yang siap mencabut nyawanya kapan saja.

Keadaan di ruangan itu tampak begitu hening dalam lautan ketegangan sementara lagu dari speaker yang ada di ruangan itu terus mengalun seakan tak berdosa ketika pemuda itu akhirnya mengangkat pistol itu dari hadapan sang asisten dan mulai tertawa kecil.

Kau pikir aku akan benar-benar melakukannya, Igor?!”Ujarnya sambil melirik ke arah kakek tua itu, “Lima tahun rupanya cukup untuk mengubah seseorang…”

Mendengar hal itu, Igor hanya tersenyum, ia lalu menyimpan kembali pistol kecilnya ke balik jasnya itu sebelum akhirnya tertawa begitu pula dengan apa yang terjadi pada pemuda itu, diturunkannya pistol yang terarah pada kakek tua itu dan disimpannya kembali ke dalam saku jasnya, “Menarik ...lalu bagaimana?”
“Kuambil…” Ujar pemuda itu, “Aku suka barangnya…” Ia lalu mengambil selongsong peluru itu dan mengamatinya, “Lapisan kertasnya bagus…” Ia lalu meletakkannya ke atas meja, “Buatan Agency?”

Igor mengangguk, ia lalu kembali menuangkan martini ke dalam gelasnya dan tamunya. “Kau tahu, belakangan ini semakin susah mendapatkannya…setidaknya selesaikanlah pekerjaanmu secepat mungkin ... sebelum mereka mengirimkan orang-orang mereka kemari, Raven” Ia lalu kembali menghisap rokoknya sebelum kembali meminum minuman keras itu, “Mereka memakai orang terbaiknya kini…dan akan terus selama masih belum diselesaikan, satu saja sudah merepotkan…”

“Maksudmu Hellhound?”

“Ya… Kau tahu kan, Kembalikan semuanya pada awal dan kau akan dapatkan akhir, jangan menaruh yang akhir menjadi awal atau semuanya berbuah kemerosotan…”
“Aku tahu…” Jawab pemuda itu, “Penyelamatan tanpa juru selamat…” Ia lalu beranjak dari tempat duduknya, “Semua itu masih bisa dilakukan, kelahiran tragedi dan sebuah pemutar balikkan kehidupan…Tuhan kembali pada manusia…”
Pemuda itu lalu menoleh ke arah asistennya itu, yang tampak masih terguncang hebat akibat kejadian sebelumnya, “Maafkan aku, Nona…”

Margaret hanya terdiam membisu tanpa suara sementara alunan musik supranatural masih mengalun dengan merdu ketika hamparan bintang di jendela tampak beterbangan melewati tempat itu, tangannya tampak basah ketika pemuda itu berjalan ke pintu keluar, “JIka tidak keberatan bagaimana jika kita membicarakan ini di luar nanti, Igor…” Ia lalu meletakkan gelas minuman yang dibawanya ke atas sebuah meja di sebelah kiri ruangan, “Aku baru saja menemukan tempat bagus di kota, kau pasti suka…”
“Boleh-boleh saja…sebelum semuanya kembali ke awal…”

Pemuda itu tersenyum dan membuka pintu itu sebelum akhirnya menghilang dari pandangan mereka. Meninggalkan sosok Margaret yang bersimbah keringat dingin di ruangan yang seharusnya dingin itu seperti layaknya sang majikan yang tampak gelisah.

“Orang ini mengerikan…”


--------------------------------------------------------------------------------

Apartemen Grand Inaba

Sebuah kilatan lampu blitz sebuah kamera digital dari seorang anggota tim forensik kepolisian Inaba menerangi dua onggok mayat tak bernyawa yang tergeletak di lantai dengan bersimbah darah ketika Naoto Shirogane dan Ryoutarou Doujima mengamati situasi di sekelilingnya sambil menggelengkan kepala tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini.

Ryoutarou mengamati kartu tanda pengenal salah seorang mayat bernama 'Eri Minami', “Korban yang wanita bernama Eri Minami, 27 tahun...” Ia menatap ke arah mayat wanita itu, “Kudengar, dia adalah seorang ibu muda yang sempat bekerja tetapi sekarang ini, dia hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama anaknya...”Ia lalu mendesah, “Kasihan sekali mereka...alih-alih hidup bahagia, mereka malah dibunuh..” ia terdiam sejenak, “Pembunuh kali ini pastilah bukan manusia, sungguh dari semua kasus yang kutemui belum pernah kutemukan orang seperti ini..” Ia lalu menatap Naoto, “Bagaimana menurutmu?”

Dengan perlahan ia berjalan ke arah mayat dan mulai memeriksa mayat itu dengan kedua tangannya yang terlindung oleh sarung tangan, Kedua matanya yang bewarna biru memeriksa serpihan daging yang tercecer di lantai dalam ukuran yang kecil-kecil. Sungguh ironis, pikirnya. Apalagi anak kecil ini....usianya...sama dengan Nanako, jika memang manusia...manusiakah orang ini?

“Bagaimana?”

Naoto menggelengkan kepalanya, “Tak usah diragukan lagi, pelakunya orang yang sama...apa ada bekas pengrusakan?”

“Tidak ada....” kata Ryoutarou, “Sama seperti yang terakhir kali....tidak ada bekas pengrusakan dan lihatlah ke jendela...” Jari telunjuknya diacungkan ke arah jendela apartemen yang berteralis—tak ada kerusakan, “Hal yang sama juga terjadi di pintu....”

“Apa sampai sekarang tetap tidak ada benda lain yang bisa ditemukan?” Tanya Naoto Shirogane.

“Tidak ada...” kata Ryoutarou, “Yang terbayang dalam pikiranku sekarang adalah apa mungkin seperti kemungkinan yang dulu,”

“Apa itu?”

“Jika dia membuat korban membukakan pintu baginya...”

Mendengarkan hal itu, Naoto terdiam sambil berdiri setelah selesai memeriksa mayatnya. Membukakan pintu? Pikirnya ketika ia membuka sarung tangan karetnya itu. Masuk akal juga, tapi...CCTV yang kemarin...


--------------------------------------------------------------------------------

Junes Food Court

“Sebuah ledakan yang menewaskan 20 orang terjadi di Ginza pada pukul 13.00 siang hari ini....”

Mata Yosuke Hanamura, Chie Satonaka, Yukiko Amagi, Rise Kujikawa dan Kanji Tatsumi tertuju pada layar televisi yang menyala di sudut ruangan food court itu. Tampak di depan mata mereka, puluhan mobil Mercedez hitam terbakar, pecahan-pecahan kaca berserakan, mayat-mayat bergelimpangan berikut yang luka-luka serta api yang membakar bangunan naas yang hancur itu dengan penuh semangat ketika puluhan mobil pemadam kebakaran lengkap dengan petugasnya sibuk membereskan kerusakan yang ada.

“Sepertinya masalah keluarga senpai dan keluarga Kubo semakin parah saja dari hari ke hari,” Ujar Kanji pelan, “Kuharap mereka tidak meluaskannya sampai kemari...”

“Ya...aku juga berharap hal yang sama..” Chie berkata, “Kenapa mereka sama sekali nggak cepat-cepat memindahkan si 'Maniak' itu ke penjara lain!!” Ujarnya geram, “Keberadaannya di sini cuma membuat masalah perang geng itu besar kemungkinan menyebar kemari...”

Mendengar hal itu membuat Rise Kujikawa mendesah dan mengalihkan pandangannya ke langit-langit sementara kedua kakinya bergoyang-goyang sembari ia duduk, “Senpai.....sepertinya kamu lahir di keluarga yang salah...” Ia lalu meminum jus jeruknya.

“Kuharap Mitsuharu-san segera menghentikan semua ini...” Ujar Yukiko Amagi dengan sedih, “Bukan ini yang diinginkan oleh Souji-kun...” Sementara itu, Yosuke Hanamura hanya bisa menggelengkan kepala, tidak tahu harus berbuat apa. Kenapa tidak? Sejak perang geng itu meletus, supply barang dari pelabuhan terhenti. Para importir enggan mengirimkan barang karena gangguan keamanan di sekitar pelabuhan itu sendiri—buntut pertikaian geng—Keluarga Kubo menguasai pelabuhan dan Keluarga Seta mulai sering menyerang pelabuhan karena hal itu, Total Chaos. Itulah gambaran suasana saat ini.

“Master...damn...” Kutuk Yosuke Hanamura, “Ini hanya akan memperpanjang masalah...Semoga saja Naoto dan Doujima-san bisa menyelesaikan semuanya...”


--------------------------------------------------------------------------------

Apartemen Grand Inaba

Pukul 16.10

“Baiklah, kalau begitu kita butuh rekaman CCTV seisi apartemen ini...” Ujar Naoto Shirogane pada seorang anggota tim forensik yang ada di hadapannya itu, “Kita coba gunakan idemu, Doujima-san..” lanjutnya.

Ryoutarou mengangguk, “Apa ada lagi yang lain?”

Naoto kembali mengamati keadaan di sekitarnya untuk sesaat, perabotan yang masih tertata rapi—tanda tidak ada perlawanan...tidak ada sidik jari pelaku....Ia lalu menurunkan lidah topinya.

Apa hubungan kedua orang ini dengan korban yang lain? Tanyanya dalam hati ketika kedua matanya kembali melihat ke arah sekitarnya, hingga sebuah benda menarik perhatiannya, sebuah kartu.

Dipandanginya selembar kartu yang tergeletak di atas sebuah counter. Mungkinkah? Tanyanya dalam hati. Dengan perlahan ia berjalan mendekati kartu itu sambil kembali memakai sarung tangannya. Sesampainya di depan counter berpermukaan batu granit bewarna abu-abu itu, ia berhenti sejenak. Diambilnya kartu itu dan dilihatnya, The Temperance. Pikirnya. Apa lagi ini? Ingatannya lalu teringat kembali pada kartu pertama yang dilihatnya sebelumnya. Ia lalu kembali melihat ke bagian belakang kartu tarot itu, benar saja, seperti kartu sebelumnya ia menemukan sebuah pola khusus di punggung kartu. Pesan yang lain... ujarnya. Ia lalu mengambil kartu itu dan memasukkanya ke dalam sebuah kantong plastik.

“Bagaimana!?” Seru Ryoutarou yang berdiri di belakangnya.

Mendengar hal itu, Naoto berbalik badan dan dengan tenangnya ia berkata, “Cukup...aku akan menyerahkan laporannya nanti..” Ia membenarkan posisi topinya dan bersama dengan detektif kepolisian itu berjalan meninggalkan TKP dengan terlebih dahulu menerobos kepungan wartawan yang berjubel di depan.


--------------------------------------------------------------------------------

Di luar Junes

Pukul 16.30

Yosuke Hanamura dan anggota Investigation Team yang tersisa (Chie, Yukiko, Kanji dan Rise) berjalan melewati pintu otomatis yang menjadi pintu gerbang Junes Departement Store ketika sebuah mobil berjalan melintas di hadapan mereka sementara Yukiko tampak terkejut dengan pertanyaan Chie Satonaka.

“Fox? Ada apa memangnya?” Tanyanya dengan bingung sambil menatap ke arah sahabat yang sempat didambakannya sebagai sang 'prince' dengan kedua bola matanya yang bewarna hitam mengabaikan orang-orang yang berjalan di sekitanya yang sibuk dengan tujuan dan pembicaraan masing-masing (bagi yang berjalan sendiri) ketika sinar matahari mulai condong ke arah barat dan cahayanya tampak memerah.

“Nggak, nggak ada apa-apa, sih..” Ujar Chie, “Tapi kamu ada lihat dia hari ini??”

“Nggak, aku nggak lihat dia hari ini Chie-chan...” jawabnya, “Kalian sendiri?”

“Itulah yang kita bicarakan dan nggak tahu...dia bahkan nggak muncul di TV World tadi...” kata Yosuke, ia lalu menatap ke arah sebuah pohon yanagi yang ada di depannya, yang berdiri kokoh di samping jalan yang konon sering muncul hantu di bawahnya. “Aku cuma penasaran saja, nggak biasanya dia begini..”

“Iya juga sih....” Yukiko melirik ke arah lantai yang di bawahnya itu sambil memegangi tas sekolahnya, “Tapi kalo nggak salah, dia punya anak-kan?” Ia lalu menatap ke arah teman-temannya yang ada di dekatnya itu, “Mungkin dia sedang sibuk mengurus anak-anaknya....lagipula sekarang ini juga yang datang ke Tatsuhime Shrine mulai banyak...”

“Kuharap begitu...” Ujar Kanji sambil tersenyum “Tapi gara-gara itu, kau kehilangan tempat bersantaimu, Yukiko-senpai...”

“Yah, sudahlah...” Yukiko tertawa kecil, “Lagipula aku juga belakangan ini jarang keluar rumah...”

Mereka lalu kembali berjalan menyusuri trotoar yang luas bagaikan jalan-jalan di dekat L'es Champ d Ellyses (meski tidak sebesar itu) hingga langkah kaki mereka terhenti di depan sebuah zebra cross ketika lampu merah di hadapan mereka menyala merah bagi pejalan kaki. Tampak mobil-mobil yang sedianya terhenti mulai berjalan dengan teratur sementara mereka menunggu dengan sabar ketika lampu penanda waktu pergantian lampu merah itu menyala saat tiba-tiba Yosuke mendapatkan ide.

“Hei, Gimana kalau kita besok coba ke sana!!” Ujarnya dengan riang, “Lagipula kita udah lama nggak melihat fox dan anak-anaknya kan!?”

Mendengar hal itu, membuat anggota Investigation Team yang lain tergidik. Diawali dengan biang kehebohan nomor 1, Rise Kujikawa yang sedari tadi tampak diam dan kini berkata, “Wah!! Ide bagus itu!! Rise bisa ketemu sama anak-anaknya Fox lagi!!!”

“Well, baiklah kalau begitu...” Ujar Chie sambil bertolak pinggang, “Setidaknya kita bisa bersenang-senang di sana...”

Dan melupakan semua kegilaan ini sejenak. Pikir Yosuke dalam hati ketika sebuah mobil ambulance lewat di hadapan mereka dengan berisikan mayat dengan sirine yang berbunyi nyaring membelah keramaian kota kecil yang tidak begitu ramai.

“Umm...gimana kalau kita bawa masakan buatan kita besok!?” kata Rise, “Anak-anak Fox butuh asupan gizi yang cukup...” Ujarnya dengan penuh semangat yang dibalas dengan anggukan dan gumaman setuju dari dua orang gadis yang lain sementara Yosuke yang mendengarkan hal itu segera berbalik badan sambil berkata, “APAAA!!!”



--------------------------------------------------------------------------------
Kembali Ke Atas Go down
separated-union




Male Jumlah posting : 15
Quote : In nothing we trust
Money : 28730
Registration date : 01.07.09

Persona-User Information
Name:
Persona:
Gender:

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 01, 2009 10:20 am

BAB 7 : The Red Eyes

Kantor Kepolisian Inaba

Naoto Shirogane telah kembali ke kantor polisi seusai menyelesaikan semua berkas laporan yang tersisa. Saat itu hari sudah gelap. Di dalam ruang kesatuannya hanya tersisa Ryoutarou Doujima bersama dengan beberapa anggota reserse yang berjaga malam. Ryoutarou menyambutnya dengan ekspresi datar, seperti biasa (dia bukan orang yang ekspresif) sambil mematikan rokoknya ketika lehernya menoleh ke arah sang Detective Prince yang baru saja melangkahkan kakinya memasuki ruangan, “Bagaimana laporannya?”

Naoto tidak menjawab. Sebagai gantinya ia berjalan mendekati meja detektif itu dan meletakkan sebuah map yang cukup tebal yang kemudian diambil Ryoutarou dan diamatinya.

“Apa ini sudah semua?”

Naoto mengangguk. “Itu adalah hasil pemeriksaan atas semua barang bukti yang didapatkan di TKP tadi…”

“Ceritakan padaku apa kau dapatkan…”

Naoto lalu mengatakan temuannya, sesuatu yang sebenarnya tidak ingin didengar oleh Ryoutarou itu sendiri bahwa semua ini hasilnya sama persis dengan kematian korban sebelumnya, Ai Ebihara—tidak ada bukti lain, tidak ada sidik jari, jenis senjata, air liur, golongan darah dan lain sebagainya. Diutarakannya pula hasil otopsi kedua korban pembunuhan kali ini, yang bernama Eri Minami dan Yuuta bahwa tidak ada bekas kejahatan lain yang ditemukan selain tembakannya itu tanpa ada tanda suatu perlawanan ketika kejadian itu berlangsung—bentuk kesamaan pada Ai Ebihara dan korban-korban sebelumnya—cara yang sama dan dengan pelaku yang sama

“Lalu bagaimana dengan CCTV-nya?” Tanya Ryoutarou.

“Nihil…tetapi ada sesuatu yang menarik…” Naoto agak menyunggingkan sebuah senyum kecut, “Coba kau lihat…kuharap ini bisa jadi sedikit petunjuk…”


--------------------------------------------------------------------------------

Nakajima Mansion, Inaba

Seorang pemuda berjalan melintasi sebuah gang sempit yang telah gelap dengan ditemani oleh cahaya dari lampu jalanan tua yang masih berfungsi dengan baik. Langkahnya begitu perlahan ketika ia mendekati sebuah rumah yang berdiri kokoh (ingat! itu rumah permanen) yang dikelilingi oleh pepohonan-pepohonan suram ketika bulan sabit di langit kelam bersinar menerangi sekitarnya dengan indah ketika bintang-bintang menghiasi angkasasementara kedua tangannya yang dilapisi oleh sepasang sarung tangan bewarna hitam mencabut sebuah handgun bewarna silver dari balik jaketnya.


--------------------------------------------------------------------------------

Kepolisian Inaba

Naoto dan Ryoutarou tampak sedang mengamati sebuah video rekaman CCTV bewarna hitam dan putih yang didapatkannya di ruangan itu ketika layarnya menampilkan sosok salah satu korban, yaitu Yuuta yang dengan penuh ketakutan mengguncangkan tubuh ibunya yang tidak akan pernah bisa bangun lagi itu dengan penuh ketakutan ketika sebuah ujung pistol muncul mengeluarkan api letusan senjata dari ujung peredamnya tanpa disadarinya akan mengakhiri nyawanya--membuatnya mati penasaran ketika ujung pistol itu diturunkan dan menghilang dari layar dan video-pun terhenti.

"Setidaknya hanya ini saja yang video CCTV yang setidaknya menjelaskan si pelaku....." Ujar Naoto sambil melirik ke arah Ryoutarou Doujima yang kini sedang berdiri agak terduduk di atas sebuah meja pulp yang bepermukaan putih sambil memegangi dagunya dengan tangan kirinya. Mata detektif kepolisian yang sebenarnya masih ada dalam jangkauan kisaran kata 'muda' itu mengernyit dengan serius.

"Hanya ini saja video-nya?" Tanyanya. "Tidak adakah video lain yang lebih jelas, seperti di lobby apartemen atau di basement atau mungkin di pintu darurat?"

"Ya..hanya ini," jawab Naoto sambil memutar kursi tempatnya duduk dengan perlahan agar bisa berkomunikasi dengan Ryoutarou yang ada di belakangnya, "Sisanya nol....benar-benar nol..."

Mendengar hal itu, Ryoutarou hanya bisa menghela nafas kesal. Kenapa bisa ada orang segila ini di dunia? pikirnya. Tidak habis pikir otaknya ketika dilihatnya senjata itu teracung tanpa ragu ketika menghabisi anak kecil itu. JIka orang ini manusia? Manusiakah orang ini? Tanyanya dalam hati sementara tangannya yang satu lagi, alias yang kanan memegang map tebal yang diletakkannya di sebelah tubuhnya. Ia lalu beranjak dari meja itu dan mulai mendekati komputer.

"Kali ini sepertinya dia lupa memperhatikan ini...,coba kau besarkan ujung senjata itu..." Pinta Ryoutarou pada sang Detective Prince yang kini sedang berada di depan sebuah layar LCD sebuah komputer yang baru saja usai menampilkan acara yang tentunya jika dijadikan sebuah film, alih-alih dapat Oscar malah akan mendapatkan sensor habis-habisan. Sang Detective Prince lantas mengangguk tanpa banyak protes ketika ia menekan tombol zoom dengan mouse tepat di bagian penembakan senapan itu.

"Besarkan pixelnya..."

Naoto melakukannya, dibersihkannya gambar itu ketika secara samar ia mendapati sebuah benda hitam berbentuk tabung menampakkan wujudnya--sebuah peredam. Diamatinya peredam itu dengan seksama ketika tangan Doujima menujuk ke benda itu sambil tersenyum.

"Apa jenis pelurunya, Shirogane?" tanyanya,

"FMJ .45 ACP" jawab Naoto Shirogane.

Ryoutarou terdiam sejenak sebelum akhirnya kembali berbicara di dalam ruangan yang sudah sepi itu ketika di luar sana angin menderu kencang, "Berarti yang digunakan adalah varian Colt 1911 atau sejenisnya..."

Jawaban itu sontak membuat Naoto kaget, "M-maksud anda, Doujima-san?"

"Coba kau cari di daftar kepemilikan senjata api kota ini..." ujarnya, "Setahuku hanya sedikit orang yang memiliki senjata model lama seperti itu.."

"Baiklah kalau begitu..."


--------------------------------------------------------------------------------

Nakajima Mansion, Inaba

Kosong! Setidaknya itulah yang dirasakan oleh pemuda itu ketika mendapati begitu mudahnya rumah itu untuk dimasuki hanya untuk menemukan rumah yang telah bertuan dengan perabotan-perabotan rumah tangga yang masih tersusun rapi. Dilihatnya lampu yang masih menyala terang dan sebuah sebuah adaptor sebuah charger baterai yang masih panas di atas meja ketika tangannya memeriksanya benda itu saat jendela berderak-derak akibat angin kencang yang mulai berhembus di luar sana. Pemuda itu lalu kembali melanjutkan langkahnya yang tanpa suara di atas lantai rumah yang beralaskan keramik marmer itu. Sementara itu di suatu sisi, di suatu tempat di rumah itu, seorang pria berusia dalam kisaran belasan tahun bersembunyi dalam ketakutan.

A-aku....aku...aku harus bertindak sesuatu...pikirnya ketika peluh ketakutan mulai menetes membasahi pipinya yang turun dari dahinya. Kacamatanya yang bulat kini tampak basah karena hal yang serupa dan karena oleh air mata ketika ia melihat jasad ayah dan ibunya tergeletak di lantai dengan bersimbah darah.


--------------------------------------------------------------------------------

Kepolisian Inaba

Naoto Shirogane mengetikkan tipe-tipe senjata yang mungkin dan benar saja apa yang dikatakan oleh Ryoutarou Doujima tentang hal ini. Peluru FMJ .45 ACP memang biasanya hanya digunakan untuk senjata model lama seperti Colt 1911 dan tiruannya. Tidak susah memang dan di Jepang, seperti halnya negara lain, kepemilikan senjata api sangatlah susah izinnya (berbeda dengan Amerika yang mudah). Ia memejamkan matanya sejenak, setidaknya ini menjadi satu petunjuk khusus.

Kumohon...Pikirnya dalam hati. Ia lalu mulai membuka matanya secara perlahan dan menekan tombol enter dan voila, daftar pemilik senjata-pun segera keluar.

“Coba kau cek, jenis peredamnya itu untuk pistol jenis apa!” Ujar Ryoutarou.


--------------------------------------------------------------------------------

Nakajima Mansion, Inaba

Derap langkah kaki yang tampak tenang terdengar menghentak dengan irama yang teratur ketika pemuda berambut hitam menaiki anak tangga satu demi satu. Suasana tampak begitu hening tanpa suara dengan hanya suara detak jam antik berbahan kayu yang berdiri kokoh dengan dinginnya sedingin tatapan mata sang pemuda itu. Di suatu tempat di lantai atas itu, seorang pemuda berambut seperti batok kelapa yang terbalik merasakan detak jantungnya semakin meningkat, ia tampak sangat gugup dan semuanya kini tampak sangat mencekam.

Apa salahku? Tanyanya dalam hati. Apa salahku sehingga aku dibuat merasakan hal ini?

Angin yang kencang menghempaskan jendela di kamar itu, membuat tirai kamar itu berkibar-kibar karenanya--yang sialnya, mengundang perhatian sang pemuda yang entah berasal dari mana untuk melihat ke arahnya berada, karena tertarik, ia lalu berjalan menuju ke ruangan pria itu bersembunyi ketika secara tidak sengaja pria yang bersembunyi itu menemukan HPnya tergeletak di dekatnya.


--------------------------------------------------------------------------------

Kepolisian Inaba

Sebuah telepon layanan panggilan 24-jam pengaduan berdering dengan kerasnya di bagian informasi kepolisian ketika Naoto Shirogane dan Ryoutarou Doujima sedang menyelidiki data yang diperlukan.

"Kepolisian Inaba, ada yang bisa kami bantu?" Tanya seorang operator.

Sementara itu, di ruangan kesatuannya. Ryoutarou dan Naoto masih sibuk mengecek data (dan sepertinya adalah satu-satunya bukti yang resmi) ketika panggilan itu terjadi, membuat mereka melihat ke arah operator itu.

"Hmm....jarang sekali ada panggilan malam-malam begini..." Ujar Ryoutarou Doujima.

"Biarkanlah....setidaknya kita harus terokus pada data ini..." Naoto terus menatap ke arah monitor LCD yang ada di hadapannya itu, "Umm...ngomong-ngomong apa Doujima-san pernah melihat sebuah kumpulan kode-kode aneh selama menyelidiki kasus ini?"

"Kode?" Ryoutarou agak tergidik, "Apa maksudmu?"

Naoto hanya terdiam tak menjawab sambil terus mengecek data yang keluar di layar monitornya.

“Heh? Shirogane?”

“Tidak...” Ujar Naoto, “Lupakan saja, mungkin aku yang berpikir terlalu aneh..” Suasana kemudian menjadi hening sejenak, hingga tiba-tiba operator itu berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke ruangan mereka.

“Ada apa?” Tanya Ryoutarou pada operator itu.


--------------------------------------------------------------------------------

Nakajima Mansion, Inaba

Pemuda berambut merah itu membuka pintu kamar yang tidak tertutup rapat itu dengan perlahan seiring kedua langkahnya yang perlahan memasuki kamar itu, tak ada apapun. Membuatnya tersenyum dingin ketika mengamati sekitarnya, lebih-lebih ketika ia melihat sebuah telepon genggam tergeletak tak bertuan di lantai marmer itu dengan lampu backlight yang masih menyala. Membuatnya mengambil benda itu dan mengamati daftar panggilannya.

Polisi? Pikirnya sambil mengamati daftar log panggilannya dengan santai. Kau pikir semua ini bisa menyelamatkanmu?

Ia berjalan lebih dalam lagi, ketika ia mengamati seisi kamar yang dingin karena arus angin yang masuk dari jendela yang terbuka ketika suara jam antik yang berdetak membuatnya mendekati jendela itu dan melirik ke arah dibawahnya, ke arah hamparan kebun yang gelap dan suram.

Kosong..Ia berjalan mundur, menjauh dari jendela itu ketika ia melirik ke arah lemari pakaian...saat tiba-tiba pintu itu terbuka dengan kasar, begitu kasarnya hingga suaranya terdengar dengan sangat keras ketika pria itu, yang berusia sekitar usia siswa SMP berlarian dengan panik tanpa arah di dalam rumah bergaya Baroque itu.

Kelinci yang pintar. Pikir pemuda berambut hitam itu dengan dingin, ketika ia mulai berlari dengan cepat mengejar pemuda itu, yang kini berusaha meraih MCB rumahnya, mencoba untuk mematikan lampu di rumah itu dengan pistolnya yang teracung ketika tak lama kemudian seisi rumah itu benar-benar menjadi gelap, gelap bagaikan sebuah rumah hantu.
Kembali Ke Atas Go down
separated-union




Male Jumlah posting : 15
Quote : In nothing we trust
Money : 28730
Registration date : 01.07.09

Persona-User Information
Name:
Persona:
Gender:

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 01, 2009 10:20 am

--------------------------------------------------------------------------------

Ryoutarou Doujima membuang puntung rokoknya keluar dari mobilnya melalui jendela sementara kedua mata dan tangannya yang satu masih terkonsentrasi dengan laju kendaraan patroli yang cukup kencang menyusuri jalanan kota Inaba kala malam yang tenang bersama dengan beberapa mobil polisi yang lain sementara Naoto Shirogane yang duduk di sebelahnya hanya bisa mengamati jalan dan sekitarnya dengan tenang (ketenangan—kunci kesuksesan seorang detektif)

“Siapa pelapornya?” Tanya Naoto Shirogane seraya menatap Ryoutarou yang sedang melajukan mobilnya dengan kencang ketika angka di speedometernya menyentuh 100 km/jam (dan itu di dalam kota).

“Seorang laki-laki...” Ujar duda itu, “Kalau tidak salah dia bernama Shu Nakajima..katanya dia mau dibunuh orang tidak dikenal...”

Mendengar hal itu, Naoto terkejut. Orang tak dikenal. “Jangan-jangan...?”

“Ya...bisa jadi...” Ujarnya, “Kalau ini benar, kita harus mencoba menangkapnya sekarang...”

Naoto mengangguk, “Kita berpacu dengan waktu kalau begitu...”


--------------------------------------------------------------------------------

Nakajima Mansion, Inaba

Suasana di dalam ruangan itu kini begitu gelap ketika pemuda bermata merah itu melangkahkan kakinya dengan tenang, mungkin bisa dikatakan mengendap-ngendap menyusuri bangunan besar itu dengan tenang menyusuri kegelapan di dalam ruangan tanpa emergency light...tak ada CCTV....semuanya terkesan mudah...detak jam antik di dalam bangunan itu masih terus berdetak, seperti detak jantung calon korban yang kini sedang diburu yang lebih tak beraturan lagi detaknya tentu.

Klotak!!

Suara sebuah benda yang terlempar terdengar di salah satu sudut bangunannya itu. Pemuda itu lalu melirik ke arah sumber suara yang begitu gelap. Membuatnya berbalik badan dan mendekati sumber suara itu, masuk ke dalam kegelapan sementara sang mangsa, yang bernama Shu Nakajima wajahnya kini tampak pucat dan setiap nafasnya kini dirasakannya begitu berarti. Apakah aku akan mati?

Ditatapnya langkah pemuda bermata merah itu yang semakin menjauh, membuatnya sedikit bernafas lega sebelum akhirnya ia sadar jika itu semua adalah kesalahan terakhir yang rupanya begitu besar dalam hidupnya ketika moncong senjata colt 1911 teracung ke arah kepalanya.

“встречаться—ketemu...” ujar pemuda itu dengan senyuman dingin.

Dan saat itulah Pria berambut batok kelapa terbalik itu sadar jika hidupnya tidak akan lama lagi..


--------------------------------------------------------------------------------

3 buah mobil patroli kepolisian Inaba yang menggunakan base mobil Honda Civic berhenti di depan sebuah pintu gerbang yang besar dengan jeruji-jeruji besinya yang menjulang tinggi dengan tulisan kanji Nakajima yang tergurat di sebuah plat kuningan di sisi dinding salah satu pagar yang terbuat dari susunan batu bata yang tersusun rapi ketika Naoto Shirogane beserta Ryoutarou Doujima beranjak turun dari mobilnya diikuti oleh beberapa petugas kepolisian yang mengikutinya menuju ke pintu gerbang itu.

Kuharap masih sempat..Pikirnya ketika ia mengecek pintu gerbang itu--tak terkunci. Damn!? keluh Naoto. Tanpa pikir panjang lagi ia segera masuk menerobos pintu gerbang itu dan lalu ia segera berlari bersama dengan partner polisi yang lain sambil mengeluarkan sepucuk Heckler and Koch yang berukuran kecil bewarna perak. Upaya preventif mencegah masalah yang mungkin muncul, tetapi kelanjutannya membuat mereka semua tertegun ketika kedua mata Naoto dan yang lain melihat tubuh seseorang terlempar keluar dari lantai dua bangunan mansion yang besar itu, mengoyak rangka kayu yang membingkai kaca tersebut, lalu jatuh terhempas ke permukaan tanah bersama dengan serpihan kaca dan potongan kayu.

Orang-orang yang menyaksikan hal itu segera menghampiri tubuh itu sementara Ryoutaru Doujima cepat-cepat menelpon ke kantor kepolisian untuk memanggil bantuan sebelum akhirnya turut menghampiri tubuh itu yang kini tergeletak tak berdaya di atas rumpur yang bewarna hijau di tengah kegelapan.

Naoto menatap ke arah tubuh pria itu sementara beberapa orang anggota polisi yang lain melakukan pemeriksaan terhadap tubuh itu sebelum Naoto Shirogane menatap ke atas dan mendapati sesosok orang yang melompat dari lantai dua menuju ke sebuah box kayu yang terletak di bagian samping kanan bangunan sebelum akhirnya melesat memasuki kerumunan pohon menuju ke sebuah pintu belakang yang kecil yang terhubung ke sebuah gang sempit di belakangnya.

Naoto berlari mengikuti arah kepergian pria itu dengan handgun yang siap di tangan, mereka memasuki kerumunan pohon-pohon yang begitu lebat membuat tempat itu dibalut kgelapan yang nyaris total tak tertembus cahaya. Tanah yang mereka tidaklah terlalu keras dan kondisinya begitu tidak baik, penuh dengan batu yang tidak teratur dan akar-akar pohon-pohon tua yang muncul ke permukaan tanah, membuatnya harus berhati-hati sehingga ruang geraknya berkurang.

Ia mencoba menyusul pemuda yang berlari kurang lebih lima meter di depannya. Langkah-langkah kaki itu begitu cepat dan terlatih, membuat pria itu dengan gesitnya melewati semua rintangan yang ada sementara Naoto harus mengerahkan semua kemampuannya agar tidak kehilangan jejak. Ia sempat berseru pada orang yang dikejarnya itu, yang sayangnya tidak digubris. Ia mengancam akan melepaskan peluru, tetapi lawan tetap tidak mau berhenti, karena pria itu tahu betul bahwa semua hanyalah bohong belaka. Pria itu lalu melompati pintu belakang itu, yang terkunci seperti seorang yang sudah biasa melakukan kegiatan Parkour, membuat Naoto harus berusaha membuka pintu belakang itu dengan cepat—dengan menembak gembok yang mengunci pintu kayu itu sementara pemuda itu sudah cukup jauh meninggalkannya ketika pintu itu terbuka.

Pengejaran itu terus berlanjut hingga Naoto Shirogane tiba di sebuah persimpangan tiga arah, saat jarak di antara mereka itu semakin melebar. Laki-laki itu berbelok ke kiri dan begitu mereka melalui ujung gang—yang rupanyan bermuara ke sebuh tepi jalan raya yang lebar. Laki-laki yang Naoto kejar itu telah berada di sisi lain jalan raya, terpisah dari dirinya oleh lalu lintas kendaraan yang meski jarang tetapi cukup kencang dengan kecepatan tinggi.

Seraut wajah berkulit pucat milik laki-laki itu menatap Naoto sekilas dengan sebuah senyum terulas seolah mengejek dirinya saat laki-laki itu mengambil sebatang rokok dan menyalakan ujungnya sebelum akhirnya menghisapnya dengan santai. Ia lalu menatapnya dengan kedua matanya yang bewarna merah saat sebuah truk melintas menutupi pandangan sebelum akhirnya ia menghilang dari hadapan orang berambut biru bergelar Detective Prince itu.

“AH!” Naoto melepaskan teriakan kesal. Matanya menatap ke seberang jalan yang telah kosong itu, sadar jika ia tidak bisa berbuat apa-apa—pembunuh itu lolos.

“Sialan!!!” Teriak Naoto dengan kesal sambil membanting topinya ke lantai membuat wajahnya yang cantik sementara nafasnya masih memburu(yup, cantik....jadi apakah dia wanita atau pria?) dan memukul lantai trotoar yang terbuat dari kumpulan batu blok dengan kesal. Dia lolos!! Pikirnya. Dan lagi wajah itu!!! Tangannya kini bergetar hebat, Vlad!!! Kau!!!! Dan pada saat itu, dari langit malam kota Inaba yang gelap dan berangin saat itu, sebuah kartu tarot yang lain kembali berayun dengan ringan bagaikan daun yang rontok dari pohonnya dan terjatuh di dekatnya menampilkan gambar yang ada di dalamnya

The Tower


Sementara itu, di suatu atap bangunan tak jauh dari tempat itu, sang pemuda--Vlad tampak tertawa kecil dengan dingin menatap ke arah Detective Prince yang tampak sangat terpukul dan terhina sambil menghisap sebatang rokok yang ada di mulutnya, ia lalu mengeluarkan catatan kecilnya sembari mencoret sebuah nama

Shu Nakajima


Seraya berkata dalam bahasa Rusia yang dingin, “Saatmu masih belum tiba...” sembari menyimpan pistolnya kembali ke balik jaketnya sementara tangan satunya memegang kartu bertuliskan The Fortune sebelum akhirnya menyimpannya dan pergi setelah merasa tidak ada yang menarik lagi...


--------------------------------------------------------------------------------
Kembali Ke Atas Go down
Ciocarlie
Moon
Moon
Ciocarlie


Female Jumlah posting : 2182
Age : 33
Quote : God Create the death in the world so human can appreciate the meaning of life
Money : 35198
Registration date : 24.02.09

Persona-User Information
Name: Miru Futabaki
Persona: Wakaruhime
Gender: Female

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 01, 2009 10:22 am

Shocked mas ga boleh langsung gini atuh, Postnya doble...triple....multi deh Shocked harus nunggu orang lain comment dulu. Gw jadi bingung gimana bacanya....

Ah, soal code itu gw udah bisa bacanya Razz
Kembali Ke Atas Go down
http://lonelypeople.forumotion.com/forum.htm
YuKi MiNaoto
Admin
YuKi MiNaoto


Female Jumlah posting : 528
Age : 31
Quote : Believe yourself you can get it on, believe yoursel until the END!
Money : 40962
Registration date : 23.09.08

Persona-User Information
Name: Yuki Minaoto
Persona: Yukikoku-Sakuya
Gender: Female

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyMon Jul 13, 2009 8:42 pm

..:PEMBERITAHUAN:..

BAGI FANFIC YANG TIDAK "MENGIKUTI ATURAN ATAU RULES FFIC DISINI,
MAKA FFIC TERSEBUT AKAN DIBUANG KE TARTARUS..

OLEH KARNA ITU, JIKA FFIC KALIAN MAU TERSIMPAN RAPIH SEBAGAI ARSIP RESMI FFIC DI PLI INI,
HARAP MENGIKUTI RULES YANG ADA

ARIGATO~ ^^"
Kembali Ke Atas Go down
http://www.friendster.com/yukikurenai
Tetsuwa Shuujin

Tetsuwa Shuujin


Male Jumlah posting : 1466
Quote : He who has a why to live for can bear almost anyhow. To live is to Change, to choose something new, to gain by loss, to lose whatever has not be chosen, life is precisely "the finite"
Money : 48393
Registration date : 25.07.09

Persona-User Information
Name: Setsuna Fushin
Persona:
Gender: Male

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptySat Jul 25, 2009 11:56 am

AAHH!! separated-union-san juga post disini ya, juga ceritanya.
aku udah mbaca di fanfic jadi no comment aja yah! *ditembak AK-47*
Kembali Ke Atas Go down
hikaru_asagawa

hikaru_asagawa


Female Jumlah posting : 411
Age : 29
Quote : How could I accept you as my best friend, if you couldn't accept me as a FUJOSHI?!
Money : 31363
Registration date : 03.03.09

Persona-User Information
Name: Hikaru Asagawa/ Anna
Persona: freya
Gender: Female

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 29, 2009 6:40 pm

wow~ di post disini juga toh,ceritanya~
review di FFN aja yak,haha..
ngomong-ngomong apakah anda bisa menebak,siapa pen name saya di FFN? *ktawa gaje*
(contoh comment gaje,au ah..) lalala
Kembali Ke Atas Go down
http://chibineko-chan.blogspot.com
separated-union




Male Jumlah posting : 15
Quote : In nothing we trust
Money : 28730
Registration date : 01.07.09

Persona-User Information
Name:
Persona:
Gender:

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: jawaban...   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyWed Jul 29, 2009 9:02 pm

biar saya tebak......Aineko-chan....
Kembali Ke Atas Go down
Tetsuwa Shuujin

Tetsuwa Shuujin


Male Jumlah posting : 1466
Quote : He who has a why to live for can bear almost anyhow. To live is to Change, to choose something new, to gain by loss, to lose whatever has not be chosen, life is precisely "the finite"
Money : 48393
Registration date : 25.07.09

Persona-User Information
Name: Setsuna Fushin
Persona:
Gender: Male

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptyFri Jul 31, 2009 11:02 pm

Name: Hikaru Asagawa/ Anna
Persona: freya
Gender: Female

di fandom Megaten indo yang pake nama Anna 'kan cuma AiNeko-chan...
Kembali Ke Atas Go down
hikaru_asagawa

hikaru_asagawa


Female Jumlah posting : 411
Age : 29
Quote : How could I accept you as my best friend, if you couldn't accept me as a FUJOSHI?!
Money : 31363
Registration date : 03.03.09

Persona-User Information
Name: Hikaru Asagawa/ Anna
Persona: freya
Gender: Female

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptySat Aug 01, 2009 12:49 am

0_0 wew,bisa pada tau gitu.... Persona 4 : Birth Of Tragedy 437272 saya mengaku~ *halah,jadi OOT..maaf*
Persona 4 : Birth Of Tragedy 33288 Persona 4 : Birth Of Tragedy 87599 Persona 4 : Birth Of Tragedy 4711 *entah maksudnya apa*
Kembali Ke Atas Go down
http://chibineko-chan.blogspot.com
kira19_sf

kira19_sf


Male Jumlah posting : 418
Age : 31
Quote : Until that girl smiles, i`d go full force to make her happy !!
Money : 35698
Registration date : 30.06.09

Persona-User Information
Name: Elsaf
Persona: Raiten Taisou
Gender: Male

Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy EmptySat Aug 01, 2009 8:12 am

masih ada lanjutanny ga ? klo ada LANJUTKAN ! *ditembak ama Pak SBY coz niru iklanny*

N.B. : mungkin OOT atau ga, tapi klo semua yg mati adalah S.link,gmn dgn world? kan bukan individual, gmn tuh ? *gaje*
Kembali Ke Atas Go down
Sponsored content





Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty
PostSubyek: Re: Persona 4 : Birth Of Tragedy   Persona 4 : Birth Of Tragedy Empty

Kembali Ke Atas Go down
 
Persona 4 : Birth Of Tragedy
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Fanfic. Persona: The Repeated Tragedy
» Persona 3via : Semua referensi Persona 3 ada di sini!
» Tanya Jawab Persona 3 / Persona 3 FES
» my persona
» My persona

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
Persona Lover Indo :: Naganaki Shrine :: Akinari's Story :: Shin Megaten : Fanfic-
Navigasi: