Lampu-lampu jalan yang sejak tadi menyala redup, menerangi jalan raya Inaba yang kosong, mulai berkedap-kedip seraya suara tapak kaki bergema di sekelilingnya, menemaninya di tengah malam yang gelap. Angin kembali berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan pepohonan yang mulai menggugurkan satu persatu daunnya, menimbulkan suara gemerisik ketika dedaunan itu bergesek satu sama lainnya. Sampah-sampah yang berserakan di tengah jalan yang luas itu, mulai menggelinding perlahan-lahan, menabrak satu sama lainnya, lalu berhenti bergerak ketika mereka menabrak tembok-tembok yang dipenuhi coretan dengan cat berwarna merah darah. Suara tapak kaki itu mulai terdengar, diiringi dengan suara hantaman yang kencang, bergaung-gaung bersamaan dengan munculnya suara raungan yang semakin lama semakin menghilang di balik kabut putih tebal yang terus menerus menyelimuti kota kecil itu.
Dari balik kabut, Kanji meludah, lalu bersandar malas pada papan-papan kayu yang berderet-deret rapi di belakangnya, membentuk pagar yang membatasi satu rumah dengan rumah lainnya. Tangan kanannya yang sedari tadi terus memegang erat papannya, bergerak dan menaruh papan itu di sampingnya selagi badannya merosot, membuatnya terduduk di pinggir jalan yang berkabut. Ia mengatur napasnya yang memburu selagi tangan kirinya sibuk mengelap keringat yang mulai membasahi wajahnya. Mata coklatnya bergerak-gerak, melirik ke segala arah, dan ia menghirup napas panjang, lalu terbatuk-batuk.
Kanji lalu menoleh, menggerakkan rambut putihnya yang mulai kusut, menatap seorang anak lelaki yang kini sedang terduduk di sampingnya, mendengkur halus seraya dadanya bergerak naik dan turun, bersamaan dengan hembusan napasnya yang teratur. Anak itu menggerakkan kepalanya, bergumam dalam tidurnya yang panjang, lalu bergerak-gerak gelisah, dan tangan kanannya yang dingin menyentuh lengan kiri Kanji, membuat lelaki itu bergidik pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, memandangi jalanan yang kosong, yang di beberapa tempat, dipenuhi cairan hitam yang kental dan lengket, kemudian ia mengernyit.
Deru angin kembali terdengar, mengibarkan jaket hitam yang sedang digunakannya, dengan resleting yang setengah terbuka, membuat tengkuknya menggigil kedinginan. Tangan kanannya bergerak, membuat papan yang sejak tadi dipegangnya, bergerak-gerak perlahan dan pada akhirnya jatuh ke tanah, menimbulkan suara yang bergema seraya tangannya menaikkan resletingnya dan mengencangkan jaketnya, berusaha untuk mengurangi rasa dingin yang semakin menyelimutinya.
Bola mata coklatnya kembali bergerak di balik kacamata hitamnya, melirik sekilas ke arah anak lelaki di sampingnya, lalu mulai menyapu pemandangan di hadapannya, yang masih dipenuhi kabut tebal. Ia mengernyit, lalu bermaksud kembali ke rumahnya ketika tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu yang bersinar lembut, berpendar-pendar dengan sinar kebiruan di sekelilingnya, mengambang begitu saja di atas genangan cairan hitam yang kental, bergerak perlahan seraya angin meniupnya.
Kanji bangkit dari duduknya, membuat tangan anak lelaki yang sejak tadi memegangi lengan kirinya, terjatuh dan menyentuh aspal jalan dengan pelan, lalu menaikkan kacamatanya dan mulai melangkah mendekati genangan cairan itu. Ia berlutut di dekat genangan itu, mengernyit selagi tangan kanannya menyentuh permukaan sinar itu, dan matanya menelusuri warna kebiruan yang berpendar di sekeliling permukaan yang sedang di sentuhnya. Ia memasukkan tangannya ke dalam cairan itu, menarik benda dengan sinar kebiruan itu keluar dari genangan dan membersihkannya dengan kain dari jaketnya, membuat jaketnya ternodai dengan bercak-bercak hitam. Tangannya mengangkat benda itu, lalu memandanginya dengan seksama.
Kartu.
Sebuah kartu, dengan bingkai kebiru-biruan yang membingkainya. Warna birunya yang gelap serta aneh melapisi permukaan kartu itu. Di bagian belakangnya, terdapat topeng berbentuk wajah manusia, dengan warna abu-abu pada bagian kanannya, sedangkan pada bagian kirinya, berwarna biru gelap. Di sekeliling topeng itu, terdapat bentuk-bentuk aneh yang mengitarinya, membuatnya terlihat seperti matahari dan di latar belakangnya, terlihat ornamen-ornamen dengan bentuk belah ketupat yang berjejer dengan warna biru muda dan tua yang berselang-seling, terlihat seperti lantai pada sebuah dapur rumah biasa atau klub malam. Berbeda dengan bagian belakangnya, bagian depannya terlihat kosong, dengan bingkai biru yang mengitari kartu itu dari ujung ke ujung, dan di bagian dalam bingkai itu, terlihat sebuah tempat dengan warna biru tua yang menjadi latar belakangnya tanpa gambar apapun yang mengisinya.
“Kar-kartu ini...?” Kanji bergumam, lalu menarik tangannya ke bawah dan melangkah mendekati tiang lampu yang masih menyala redup, berusaha memperhatikan kartu yang ditemukannya tadi dengan lebih jelas. “Ini kan—!”
Dan tiba-tiba, ia mengangkat wajahnya, menatap sumber suara-suara aneh yang mulai bergema di sekelilingnya. Kanji menyipitkan matanya, berusaha melihat dengan jelas di balik kacamatanya yang mulai berembun. Ia mengangkat alisnya, lalu berdecak kesal ketika melihat tiga makhluk, berbentuk bola bulat dengan bibir tebal dan lidah menjulur keluar, bergerak ke arahnya dengan cepat sehingga hanya memperlihatkan garis-garis keunguan di mata Kanji.
Sebelum lidah kasar makhluk itu menjilat tubuh Kanji, membuatnya kesakitan sekaligus jijik akibat liur yang menempel di badannya, Kanji melompat lalu berguling dan bangkit berdiri seraya tangan kanannya menyambar anak kecil yang masih tertidur, menaruhnya di pundaknya yang lebar tanpa menyadari uapan kecil dari anak itu, lalu tangan kirinya menyambar papannya dan mulai berlari, menjauhi ketiga makhluk ungu itu.
“Pa-paman?” Anak kecil itu bersuara sementara tangan kanannya bergerak-gerak, mengusap-usap matanya yang masih terpejam. Ia menggeliat, lalu menggerak-gerakkan kakinya, tak sengaja menendang lengan besar Kanji, membuat lelaki itu menggeram dan si anak kecil, gemetar ketakutan. “I-ibu? Ibu di mana? Paman?”
Kanji merasa lidahnya kelu, tak bisa menjawab. Ia menelan ludahnya, lalu menatap langit yang kosong, diselubungi awan gelap seakan-akan beberapa menit lagi, hujan akan turun. Ia menurunkan kepalanya, menatap lurus ke jalanan kosong yang berkabut, lalu menoleh ke belakang seraya pandangannya menangkap tiga bola bulat yang masih terus melayang, memperlihatkan lidah panjang mereka yang menjijikkan, terlihat begitu jelas di bawah cahaya temaram lampu jalanan yang berkedap-kedip, kemudian mati, kehilangan cahayanya.
“I-ibu—“
“Tutup mulutmu sebelum kusumpal mulut cerewetmu itu dengan kaos kakiku, anak kecil!” seru Kanji, membuat anak kecil itu terdiam dan ia bisa merasakan badan anak kecil itu gemetar tak karuan di atas pundaknya. “Pertama, aku masih anak SMA dan aku bukan pamanmu, oke? Dan kedua, ibumu—“ Kanji menghentikan perkataannya, lalu menoleh ke arah gang kecil yang menangkap perhatiannya, dan ia melangkahkan kakinya, memasuki gang yang gelap itu. Ia berlari kencang, tak memperdulikan tong sampah yang tak sengaja ditendangnya, yang kini jatuh dan menggelinding keluar gang dengan sampah-sampah yang berceceran, keluar dari mulut tong itu, dan bergerak-gerak tertiup angin.
Tapi keberuntungan sedang tidak tersenyum padanya; keberuntungan sedang tidak tersenyum pada anak kecil yang kini sedang menangis di atas pundaknya itu. Di hadapan mereka, tiga makluk berbentuk boneka beruang—yang menurut Kanji, terlihat sangat lucu—bergoyang-goyang dan melayang-layang, dengan kepala bulat mereka dan telinga bundar di atas kepala itu, dengan mata besar lonjong dan mulut yang memamerkan taring-taring tajam mereka, dan tangan serta kaki mereka yang kecil dan ramping, bergoyang lembut seakan-akan menari dengan alunan angin yang bernyanyi.
Kanji menoleh, dan di belakangnya, ketiga bola bulat keunguan itu sedang menunggunya, dengan lidah terjulur dan air liur yang merembes keluar dari bibir tebalnya, membuatnya terlihat seperti singa yang kelaparan, siap untuk memakan mangsanya saat itu juga.
“Sial.”
Hanya itu yang keluar dari bibir Kanji, yang kini sedang mengerutkan dahinya seraya tangannya bergerak untuk menurunkan anak kecil yang masih terisak itu, menggenggam erat tangannya dan melangkah mundur perlahan, membuat punggungnya menabrak tembok yang ada di belakangnya, yang dipenuhi poster-poster bergambar aneh dan coretan dengan cat merah darah, bertebaran di belakangnya.
--
makasih buat yg udh ngekritik dan baca fanfic saya yg amat sangat gaje ini. terima kasiiiih! ini klanjutannya, tp saya trlalu malas untuk mengeditnya dan yaa... anda tahulah apa kebiasaan anak malas zaman sekarang ini..
oot: dan saya, untuk ke... berapa kali sih ini? yah pokoknya, saya mau promosi lagi! chapter 8 dari
Persona 4: Waiting For the Dawn udah muncul di ff.net. baca dan review ya (kalau bisa sih)
.
di sini, saya udah coba untuk kurangin kedetailannya. apa kelihatan? atau.. msh harus dikurangin lagi?